Kamis, 17 Agustus 2017

REFLEKSI DAN PROYEKSI JEMBATAN EMAS KEMERDEKAAN RI





Gemerlap Dirgahayu Indonesia
Gebyar kemeriahan fitur dan ornamen bendera Indonesia terpampang menghiasi Gapura dan beberapa lorong tempat di penjuru wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ilustrasi ini menggambarkan penghormatan dari sebagian kecil rakyat negeri, yang dengan sadar tanpa paksaan, bahkan tanpa dukungan material, mereka mampu bergotong royong untuk menyambut peringatan hari Kemerdekaan Republik Indonesia dengan suka cita dan kemeriahan.
Tidak sebatas mempercantik artefak fisik dan pancangan bendera di setiap sudut jalan, masyarakat negeri ini juga merayakannya dengan aktivitas mental dan sosial melalui berbagai macam lomba untuk semua jenjang generasi. Anak-anak, tua-muda, kaya-miskin, laki-perempuan, semuanya membaur dalam satu semangat moril untuk berpartisipasi “senang-senang” berebut hadiah dan bingkisan ala kadarnya. Rakyat berhasil menghibur dirinya di sela-sela aktivitas rutin yang membelenggunya. Mereka bercanda, tertawa dan bergembira ria.  
Ekspresi positif ini tentu mengandung makna akan ketersediaan dan kesetiaan masyarakat terhadap negara yang ditinggalinya ini. Semangat dan daya korban mereka mampu memberikan ingatan memori bahwa segala sesuatu kejadian bisa diupayakan melalui kesadaran kolektif kebersamaan antara pejabat dan rakyat, dalam hal ini radius terkecil Rukun Warga dan Rukun Tetangga. Keberhasilan berhias dan memperindah “gapura” ini membuktikan bahwa “rakyat” tetap cinta tanah air, dengan segala rasa dan dilema atas apa yang telah diberikan Negara kepada masyarakat selama 72 tahun ini.
Gairah perayaan kemerdekaan tidak hanya dimiliki oleh rakyat biasa. Para pejabat dan petinggi negara, pada hari yang sama, juga melaksanakan tradisi atau ritual peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Istana Negara. Prosesi dan protokoler peringatan kemerdekaan di Istana tentu saja berbeda dan lebih “sakral” dari pada masyarakat umumnya. Semua perwakilan Lembaga Tinggi Negara hadir menyaksikan detik-detik dan pembacaan Teks Proklamasi Indonesia, pengibaran dan penghormatan kepada bendera, serta menyanyikan Indonesia Raya, dan lain sebagainya. Bedanya lagi, semua biaya penyelenggaraan acara yang menghabiskan milyaran rupiah ini ditanggung oleh Negara, bukan inisiasi “saweran” atau “patungan” bersama-sama dari para pesertanya.

Kemerdekaan Sebagai Kelahiran
Hal pokok yang ingin disampaikan dalam tulisan ini bukanlah perihal kegiatan perayaan yang bersifat simbolis dan rutinitas tahunan ini. Adalah hal teramat penting untuk memaknai dan membaca semangat lagu yang mengingatkan akan fungsi proklamasi Indonesia. Lirik lagu tersebut berbunyi demikian, “Tujuh belas Agustus tahun empat lima, Itulah hari kemerdekaan kita, Hari merdeka nusa dan bangsa, Hari lahirnya bangsa Indonesia, Merdeka, Sekali merdeka tetap merdeka, Selama hayat masih di kandung badan, Kita tetap setia tetap sedia, Mempertahankan Indonesia, Kita tetap setia tetap sedia, Membela negara kita.” Lirik lagu ini mempunyai esensi fundamen sebagai alat untuk mengukur dan menilai segala situasi dan kondisi perjalanan Republik Indonesia.
Dalam lirik tersebut sangat jelas, bahwa 17 Agustus 1945 adalah hari kelahiran bangsa Indonesia. Bangsa ini memiliki ruang dan waktu kelahirannya, sama identik dengan bayi manusia yang lahir dari mulut rahim ibunya. Setiap bayi lahir tentu saja melalui fase-fase kehidupannya mulai dari kanak-kanak, remaja, dewasa, tua, pikun dan akhirnya meninggal dunia. Begitu juga dengan sebuah bangsa, dia pernah lahir kemudian mengalami masa-masa sebagaimana manusia menjalani hidup dan kehidupan sampai kepada keparipurnaan dan kematiannya.
Untuk melihat sampai dimana bangsa Indonesia ini eksis dan establish menjalani hidup dan kehidupannya tentu harus dilihat kemampuan dan kecakapannya dalam beradaptasi dan mengendalikan lingkungan kebangsaannya. Kemampuan seorang bayi akan berbeda dengan kemampuannya ketika masa remaja ataupun dewasa, begitu juga kemampuan optimalnya akan menurun ketika dirinya sudah memasuki usia senja. Aksi dan reaksi dari suatu bangsa dalam mengatasi permasalahan nasionalnya menentukan level dan derajat keberadaan dirinya, apakah negara itu dalam kondisi balita, dewasa, atau memasuki usia senja.
Pada hakikatnya, setiap kelahiran akan menyediakan ruang kebebasan bagi balita untuk berkembang sesuai dengan lingkungan dan ideologinya. Begitu juga sebuah bangsa yang berhasil mencapai kemerdekaan harusnya terbebas dari belenggu penjajahan dengan segala dimensi dan aspeknya. Kemerdekaan adalah jembatan emas yang akan mengantarkan suatu kumpulan individu, keluarga, komunitas, maupun postur lembaga negara untuk mencapai cita-citanya. Tanpa adanya “jembatan emas” atau “jalan penyeberangan”, maka himpunan manusia ini tidak akan bisa menyeberang ke suatu tempat yang menjadi tujuan hidupnya, bahkan bisa tenggelam dalam lautan samudera peradaban semesta.  

Refleksi Cita dengan Realita
Sehari setelah Proklamasi, bangsa Indonesia bersepakat mengikatkan dirinya pada cita-cita dan tujuan bersama sebagaimana dinyatakan dalam alenia keempat Undang-Undang Dasar 1945 berikut ini. “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Cita-cita luhur bangsa Indonesia ini telah diupayakan dan diusahakan melalui berbagai macam bentuk Negara dan model kepemimpinan bangsa. Semenjak kelahirannya, bangsa ini sepakat menggunakan Negara Republik Indonesia sebagai bentuk negara untuk menjalankan fungsi pemerintahannya. Namun demikian, cita-cita membangun dan mempertahankan negara ini harus kandas pada tahun 1949 karena Agresi Militer I dan II oleh Belanda. Pada tanggal 27 Desember 1949 dideklarasikan Republik Indonesia Serikat disingkat RIS, (Republic of the United States of Indonesia; Verenigde Staten van Indonesiƫ) sebagai suatu negara federasi hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar antara Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda. Bentuk negara ini tidak berjalan lama, karena pada tanggal 17 Agustus 1950 Republik Indonesia Serikat dibubarkan dan diganti dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
NKRI berjalan dengan berbagai macam model pemerintahan dimulai dari Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi hingga hari ini. Negara telah melakukan usaha untuk mewujudkan cita-cita menjadi realitas dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Banyak prestasi dan pencapaian besar diperoleh masing-masing Kepala Negara pada masanya masing-masing. Semua sudah, sedang dan akan terus berkarya melanjutkan kemerdekaan demi mewujudkan tujuan bernegara. Namun demikian, warga negara harus terus memonitor jalannya negara, jangan sampai salah arah dan melenceng dari tujuan pendiriannya.
Cara melihat apakah Negara ini masih berkomitmen dan konsisten dengan tujuannya atau tidak, bisa dilihat dari indikator dan instrumen pencapaian dari masing-masing tujuan negara dalam Pembukaan UUD 1945. Apakah negara ini melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia? Sudah memajukan kesejahteraan umum? Sudah mencerdaskan kehidupan bangsa? dan sudah ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial? Tentu saja untuk mengukur perwujudan cita-cita dengan realita hari ini harus menggunakan data dan statistik maupun kondisi sosial yang terjadi pada bangsa ini.
Sebagai suatu refleksi dan evaluasi, cita-cita negara ini harus dihadapkan dengan realitas sosial kemasyarakatan sehingga akan terlihat disparitas atau kesenjangan antara visi misi dengan kenyataannya. Dalam konteks keberhasilan tujuan Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dapat dilihat dari beberapa kasus pelanggaran HAM di Indonesia, hegemoni kaum mayoritas atas minoritas, perang antar masa karena perselisihan ras dan golongan, maupun kasus lain yang menyebabkan hilangnya nyawa warga negara tanpa jaminan hukum. Tragedi-tragedi masa lalu juga menjadi ukuran sekunder untuk memastikan negara telah berhasil atau belum dalam mewujudkan tujuan ini.
Indikator keberhasilan Negara mewujudkan kesejahteraan umum dapat dievaluasi dari laporan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (Human Development Index) yang berada di peringkat 113 dari 188 negara, dimana terjadi penurunan dari tahun 2015 yang berperingkat dari 110. Terkait dengan mencerdaskan kehidupan bangsa, satu indikator global terkait pendidikan menempatkan Indonesia pada peringkat ke 64 dari 72 negara dalam melihat kemampuan membaca, sains, dan matematika pada anak yang berusia 15 tahun, sebagaimana hasil survei Programme International Student Assessment (PISA) yang dirilis terakhir tahun 2015.
Catatan lebih menarik lagi terkait usaha Negara dalam mewujudkan tujuannya ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, dimana realitas global Negara masih terombang-ambing oleh kepentingan antara Blok Barat dan Blok Timur. Indonesia berada dalam cengkeraman neo-imperialisme gaya baru, dengan indikator meroketnya hutang Negara kepada dunia Internasional. Secara tidak langsung, kondisi ini mempengaruhi daya kenetralan Negara dalam menetukan sikap non-blok gaya baru, dimana situasi Internasional hari ini dalam ujian bersama, terutama dengan munculnya gerakan radikalisme, separatisme, dan terorisme transnasional.
Gambaran situasi di atas menjadi cermin reflektif bagi segenap aparatur dan penyelengara negara baik lembaga legeslatif, eksekutif dan yudikatif. Para pengemban amanat inilah yang dituntut untuk selalu mengikatkan diri dalam berfikir, berkata dan bertindak berlandaskan konstitusi atau dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Merekalah eksponen yang paling bertanggung jawab atas maju dan mundurnya atau eksis tidaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada masa sekarang dan yang akan datang. Rakyat hanyalah unsur kolektif yang berperan aktif mengikuti keteladanan dari para pimpinannya. Refleksi ini harus dijadikan proyeksi dan tantangan dalam menghadapi situasi percaturan internal dan eksternal kehidupan berbangsa dan bernegara.  

Proyeksi Konstitusi Menuju Kemerdekaan Sejati   
Sebagai eksponen dan komponen nahkoda kapal besar bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia, unsur Kepemimpinan Nasional sebagai pengambil kebijakan harus mampu melihat kualitas dirinya agar selalu aktif dan reaktif menghadapi permasalahan nasional, regional maupun global. Evaluasi hasil refleksi atas pencapaian dari berbagai indikator pertumbuhan dan perkembangan kehidupan bernegara ini harus menjadi dasar proyeksi untuk merumuskan langkah stategis dan teknis dalam rangka mewujudkan cita-cita negara dengan efektif dan efisien berlandaskan konstitusi.
Para pemimpin yang mendapat mandat dari rakyat (pilihan rakyat) seharusnya benar-benar mampu menyesuaikan diri dengan tagihan konstitusi sebagai dasar negara. Para pemimpin inilah yang menjadi lokomotif untuk memberikan contoh dan keteladanan cara hidup dan kehidupan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lima dasar negara inilah yang harus menjadi “Jembatan Pikiran” dalam setiap menjalankan kekuasaannya.
Manusia Indonesia harus benar-benar beriman kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Mereka harus mengintegrasikan diri “manunggal” dengan prinsip, ajaran dan hukum utamanya yaitu kasih dan sayang. Berbuat baiklah kepada manusia sebagaimana Tuhan Yang Maha Esa telah berbuat baik kepadamu. Cintailah Allah segenap akal budimu dan cintailah manusia sebagaimana mencintai dirimu sendiri. Kesadaran ilahiah ini harus ada dalam setiap pemimpin dan warga negara, sehingga akan tercipta konektivitas hubungan manusia kepada-Nya, kepada sesama manusia maupun alam semesta. Dengan kekuatan spiritual universal ini, maka secara otomatis akan tercipta manusia yang adil dan beradab, bersatu, merakyat dan berkeadilan sosial.
Anti thesis-nya, jika manusia Indonesia salah dalam menerapkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, maka dirinya akan menjadi manusia atheis yang lebih buas dari binatang. Dia tidak takut melawan hukum Tuhan seperti mencuri, berzina, membunuh, berdusta dan lain sebagainya. Oleh karenanya, jika ada pemimpin Negeri ini yang berani korupsi uang rakyat, itu artinya dia sedang berkhianat kepada-Nya. Tuhan YME melarang mencuri tetapi dirinya tetap korupsi, tertangkap tangan, bahkan beberapa mantan Menteri, Gubernur, Walikota, Bupati, Camat, Lurah telah menjadi terpidana kasus korupsi. Bangsa ini harus berhati-hati karena telah menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara, karena jika melanggar prinsip dan ajaran-Nya, maka bangsa ini akan mendapat kutuk dari Dia.
Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus menjadi hamba yang tulus dalam mencintai Tuhan YME dengan selalu tunduk patuh melaksanakan seluruh kehendak, prinsip dan hukum-Nya sehingga bisa mendapatkan berkat dari-Nya. Cita-cita Negara pasti terwujud jikalau segenap eksponen dan komponen Negeri ini konsisten menjalankan Konstitusi Negara yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun sebaliknya, jika para pemimpin tidak mau dan mampu mengamalkannya, maka “jembatan emas” akan rubuh dan gapura kemerdekaan akan selalu tertutup, sehingga masyarakat hanya akan berada di depan pintu gerbang tanpa bisa memasuki dan menikmatinya. Alhasil cita-cita atau tujuan bernegara hanya akan menjadi ilusi khayalan tidak termanifestasi dalam alam kenyataan. 
Bahkan jikalau para petinggi negeri ini terus menerus mencederai amanat konstitusi dan melampui batas nurani Ilahi, maka tidak menutup kemungkinan Tuhan Yang Maha Esa akan segera menggulirkan ruang dan batas waktu kelahiran kepada kematiannya, karena setiap yang lahir pasti ajal, sehingga semboyan “NKRI Harga Mati” bisa saja benar-benar terjadi, tinggal sejarah dan saling membubarkan diri. Dia akan mengganti bangsa ini dengan kelahiran bangsa baru yang lebih setia dan tidak mempersekutukan-Nya. Mari belajar dari bangsa-bangsa besar yang telah bubar manakala tidak mampu mewujudkan harapan atau cita-cita tertinggi dari perjanjian berdirinya suatu negeri. Dirgahayu Indonesia, selamat refleksi dan berproyeksi, menuju kemerdekaan sejati yang paling hakiki.