Gemerlap Dirgahayu Indonesia
Gebyar kemeriahan fitur dan ornamen bendera Indonesia terpampang
menghiasi Gapura dan beberapa lorong tempat di penjuru wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ilustrasi ini menggambarkan penghormatan
dari sebagian kecil rakyat negeri, yang dengan sadar tanpa paksaan, bahkan
tanpa dukungan material, mereka mampu bergotong royong untuk menyambut
peringatan hari Kemerdekaan Republik Indonesia dengan suka cita dan kemeriahan.
Tidak sebatas mempercantik artefak fisik dan pancangan bendera di
setiap sudut jalan, masyarakat negeri ini juga merayakannya dengan aktivitas
mental dan sosial melalui berbagai macam lomba untuk semua jenjang generasi.
Anak-anak, tua-muda, kaya-miskin, laki-perempuan, semuanya membaur dalam satu
semangat moril untuk berpartisipasi “senang-senang” berebut hadiah dan
bingkisan ala kadarnya. Rakyat berhasil menghibur dirinya di sela-sela
aktivitas rutin yang membelenggunya. Mereka bercanda, tertawa dan bergembira
ria.
Ekspresi positif ini tentu mengandung makna akan ketersediaan dan
kesetiaan masyarakat terhadap negara yang ditinggalinya ini. Semangat dan daya
korban mereka mampu memberikan ingatan memori bahwa segala sesuatu kejadian
bisa diupayakan melalui kesadaran kolektif kebersamaan antara pejabat dan
rakyat, dalam hal ini radius terkecil Rukun Warga dan Rukun Tetangga.
Keberhasilan berhias dan memperindah “gapura” ini membuktikan bahwa “rakyat”
tetap cinta tanah air, dengan segala rasa dan dilema atas apa yang telah
diberikan Negara kepada masyarakat selama 72 tahun ini.
Gairah perayaan kemerdekaan tidak hanya dimiliki oleh rakyat biasa.
Para pejabat dan petinggi negara, pada hari yang sama, juga melaksanakan
tradisi atau ritual peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Istana
Negara. Prosesi dan protokoler peringatan kemerdekaan di Istana tentu saja
berbeda dan lebih “sakral” dari pada masyarakat umumnya. Semua perwakilan
Lembaga Tinggi Negara hadir menyaksikan detik-detik dan pembacaan Teks Proklamasi
Indonesia, pengibaran dan penghormatan kepada bendera, serta menyanyikan
Indonesia Raya, dan lain sebagainya. Bedanya lagi, semua biaya penyelenggaraan
acara yang menghabiskan milyaran rupiah ini ditanggung oleh Negara, bukan inisiasi
“saweran” atau “patungan” bersama-sama dari para pesertanya.
Kemerdekaan Sebagai Kelahiran
Hal pokok yang ingin disampaikan dalam tulisan ini bukanlah perihal
kegiatan perayaan yang bersifat simbolis dan rutinitas tahunan ini. Adalah hal
teramat penting untuk memaknai dan membaca semangat lagu yang mengingatkan akan
fungsi proklamasi Indonesia. Lirik lagu tersebut berbunyi demikian, “Tujuh
belas Agustus tahun empat lima, Itulah hari kemerdekaan kita, Hari merdeka nusa
dan bangsa, Hari lahirnya bangsa Indonesia, Merdeka, Sekali merdeka tetap
merdeka, Selama hayat masih di kandung badan, Kita tetap setia tetap sedia, Mempertahankan
Indonesia, Kita tetap setia tetap sedia, Membela negara kita.” Lirik lagu
ini mempunyai esensi fundamen sebagai alat untuk mengukur dan menilai segala
situasi dan kondisi perjalanan Republik Indonesia.
Dalam lirik tersebut sangat jelas, bahwa 17 Agustus 1945 adalah
hari kelahiran bangsa Indonesia. Bangsa ini memiliki ruang dan waktu kelahirannya,
sama identik dengan bayi manusia yang lahir dari mulut rahim ibunya. Setiap
bayi lahir tentu saja melalui fase-fase kehidupannya mulai dari kanak-kanak,
remaja, dewasa, tua, pikun dan akhirnya meninggal dunia. Begitu juga dengan
sebuah bangsa, dia pernah lahir kemudian mengalami masa-masa sebagaimana
manusia menjalani hidup dan kehidupan sampai kepada keparipurnaan dan
kematiannya.
Untuk melihat sampai dimana bangsa Indonesia ini eksis dan
establish menjalani hidup dan kehidupannya tentu harus dilihat kemampuan dan
kecakapannya dalam beradaptasi dan mengendalikan lingkungan kebangsaannya.
Kemampuan seorang bayi akan berbeda dengan kemampuannya ketika masa remaja
ataupun dewasa, begitu juga kemampuan optimalnya akan menurun ketika dirinya
sudah memasuki usia senja. Aksi dan reaksi dari suatu bangsa dalam mengatasi
permasalahan nasionalnya menentukan level dan derajat keberadaan dirinya,
apakah negara itu dalam kondisi balita, dewasa, atau memasuki usia senja.
Pada hakikatnya, setiap kelahiran akan menyediakan ruang kebebasan
bagi balita untuk berkembang sesuai dengan lingkungan dan ideologinya. Begitu
juga sebuah bangsa yang berhasil mencapai kemerdekaan harusnya terbebas dari belenggu
penjajahan dengan segala dimensi dan aspeknya. Kemerdekaan adalah jembatan emas
yang akan mengantarkan suatu kumpulan individu, keluarga, komunitas, maupun
postur lembaga negara untuk mencapai cita-citanya. Tanpa adanya “jembatan emas”
atau “jalan penyeberangan”, maka himpunan manusia ini tidak akan bisa
menyeberang ke suatu tempat yang menjadi tujuan hidupnya, bahkan bisa tenggelam
dalam lautan samudera peradaban semesta.
Refleksi Cita dengan Realita
Sehari setelah Proklamasi, bangsa Indonesia bersepakat mengikatkan
dirinya pada cita-cita dan tujuan bersama sebagaimana dinyatakan dalam alenia
keempat Undang-Undang Dasar 1945 berikut ini. “Kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Cita-cita luhur bangsa Indonesia ini telah diupayakan dan
diusahakan melalui berbagai macam bentuk Negara dan model kepemimpinan bangsa.
Semenjak kelahirannya, bangsa ini sepakat menggunakan Negara Republik Indonesia
sebagai bentuk negara untuk menjalankan fungsi pemerintahannya. Namun demikian,
cita-cita membangun dan mempertahankan negara ini harus kandas pada tahun 1949
karena Agresi Militer I dan II oleh Belanda. Pada tanggal 27 Desember 1949
dideklarasikan Republik Indonesia Serikat disingkat RIS, (Republic of the
United States of Indonesia; Verenigde Staten van Indonesiƫ) sebagai suatu
negara federasi hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar
antara Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan
Belanda. Bentuk negara ini tidak berjalan lama, karena pada tanggal 17 Agustus
1950 Republik Indonesia Serikat dibubarkan dan diganti dengan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
NKRI berjalan dengan berbagai macam model pemerintahan dimulai dari
Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi hingga hari ini. Negara telah melakukan
usaha untuk mewujudkan cita-cita menjadi realitas dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Banyak prestasi dan pencapaian besar diperoleh masing-masing
Kepala Negara pada masanya masing-masing. Semua sudah, sedang dan akan terus
berkarya melanjutkan kemerdekaan demi mewujudkan tujuan bernegara. Namun
demikian, warga negara harus terus memonitor jalannya negara, jangan sampai
salah arah dan melenceng dari tujuan pendiriannya.
Cara melihat apakah Negara ini masih berkomitmen dan konsisten
dengan tujuannya atau tidak, bisa dilihat dari indikator dan instrumen pencapaian
dari masing-masing tujuan negara dalam Pembukaan UUD 1945. Apakah negara ini melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia? Sudah memajukan
kesejahteraan umum? Sudah mencerdaskan kehidupan bangsa? dan sudah ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial? Tentu saja untuk mengukur perwujudan cita-cita dengan
realita hari ini harus menggunakan data dan statistik maupun kondisi sosial
yang terjadi pada bangsa ini.
Sebagai suatu refleksi dan evaluasi, cita-cita negara ini harus
dihadapkan dengan realitas sosial kemasyarakatan sehingga akan terlihat
disparitas atau kesenjangan antara visi misi dengan kenyataannya. Dalam konteks
keberhasilan tujuan Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dapat dilihat dari beberapa kasus pelanggaran HAM di
Indonesia, hegemoni kaum mayoritas atas minoritas, perang antar masa karena
perselisihan ras dan golongan, maupun kasus lain yang menyebabkan hilangnya
nyawa warga negara tanpa jaminan hukum. Tragedi-tragedi masa lalu juga menjadi
ukuran sekunder untuk memastikan negara telah berhasil atau belum dalam
mewujudkan tujuan ini.
Indikator keberhasilan Negara mewujudkan kesejahteraan umum dapat
dievaluasi dari laporan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (Human
Development Index) yang berada di peringkat 113 dari 188 negara, dimana terjadi
penurunan dari tahun 2015 yang berperingkat dari 110. Terkait dengan
mencerdaskan kehidupan bangsa, satu indikator global terkait pendidikan menempatkan
Indonesia pada peringkat ke 64 dari 72 negara dalam melihat kemampuan membaca,
sains, dan matematika pada anak yang berusia 15 tahun, sebagaimana hasil survei
Programme International Student Assessment (PISA) yang dirilis terakhir
tahun 2015.
Catatan lebih menarik lagi terkait usaha Negara dalam mewujudkan
tujuannya ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, dimana realitas global Negara masih
terombang-ambing oleh kepentingan antara Blok Barat dan Blok Timur. Indonesia
berada dalam cengkeraman neo-imperialisme gaya baru, dengan indikator
meroketnya hutang Negara kepada dunia Internasional. Secara tidak langsung,
kondisi ini mempengaruhi daya kenetralan Negara dalam menetukan sikap non-blok
gaya baru, dimana situasi Internasional hari ini dalam ujian bersama, terutama
dengan munculnya gerakan radikalisme, separatisme, dan terorisme transnasional.
Gambaran situasi di atas menjadi cermin reflektif bagi segenap
aparatur dan penyelengara negara baik lembaga legeslatif, eksekutif dan
yudikatif. Para pengemban amanat inilah yang dituntut untuk selalu mengikatkan
diri dalam berfikir, berkata dan bertindak berlandaskan konstitusi atau dasar
negara Pancasila dan UUD 1945. Merekalah eksponen yang paling bertanggung jawab
atas maju dan mundurnya atau eksis tidaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia
pada masa sekarang dan yang akan datang. Rakyat hanyalah unsur kolektif yang berperan
aktif mengikuti keteladanan dari para pimpinannya. Refleksi ini harus dijadikan
proyeksi dan tantangan dalam menghadapi situasi percaturan internal dan
eksternal kehidupan berbangsa dan bernegara.
Proyeksi Konstitusi Menuju Kemerdekaan Sejati
Sebagai eksponen dan komponen nahkoda kapal besar bernama Negara
Kesatuan Republik Indonesia, unsur Kepemimpinan Nasional sebagai pengambil
kebijakan harus mampu melihat kualitas dirinya agar selalu aktif dan reaktif
menghadapi permasalahan nasional, regional maupun global. Evaluasi hasil
refleksi atas pencapaian dari berbagai indikator pertumbuhan dan perkembangan
kehidupan bernegara ini harus menjadi dasar proyeksi untuk merumuskan langkah
stategis dan teknis dalam rangka mewujudkan cita-cita negara dengan efektif dan
efisien berlandaskan konstitusi.
Para pemimpin yang mendapat mandat dari rakyat (pilihan rakyat) seharusnya
benar-benar mampu menyesuaikan diri dengan tagihan konstitusi sebagai dasar
negara. Para pemimpin inilah yang menjadi lokomotif untuk memberikan contoh dan
keteladanan cara hidup dan kehidupan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lima
dasar negara inilah yang harus menjadi “Jembatan Pikiran” dalam setiap
menjalankan kekuasaannya.
Manusia Indonesia harus benar-benar beriman kepada Ketuhanan Yang
Maha Esa. Mereka harus mengintegrasikan diri “manunggal” dengan prinsip, ajaran
dan hukum utamanya yaitu kasih dan sayang. Berbuat baiklah kepada manusia
sebagaimana Tuhan Yang Maha Esa telah berbuat baik kepadamu. Cintailah Allah
segenap akal budimu dan cintailah manusia sebagaimana mencintai dirimu sendiri.
Kesadaran ilahiah ini harus ada dalam setiap pemimpin dan warga negara,
sehingga akan tercipta konektivitas hubungan manusia kepada-Nya, kepada sesama
manusia maupun alam semesta. Dengan kekuatan spiritual universal ini, maka
secara otomatis akan tercipta manusia yang adil dan beradab, bersatu, merakyat
dan berkeadilan sosial.
Anti thesis-nya, jika manusia Indonesia salah dalam menerapkan
prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, maka dirinya akan menjadi manusia atheis yang
lebih buas dari binatang. Dia tidak takut melawan hukum Tuhan seperti mencuri,
berzina, membunuh, berdusta dan lain sebagainya. Oleh karenanya, jika ada
pemimpin Negeri ini yang berani korupsi uang rakyat, itu artinya dia sedang
berkhianat kepada-Nya. Tuhan YME melarang mencuri tetapi dirinya tetap korupsi,
tertangkap tangan, bahkan beberapa mantan Menteri, Gubernur, Walikota, Bupati,
Camat, Lurah telah menjadi terpidana kasus korupsi. Bangsa ini harus berhati-hati
karena telah menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara, karena
jika melanggar prinsip dan ajaran-Nya, maka bangsa ini akan mendapat kutuk dari
Dia.
Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus menjadi hamba yang tulus dalam
mencintai Tuhan YME dengan selalu tunduk patuh melaksanakan seluruh kehendak, prinsip
dan hukum-Nya sehingga bisa mendapatkan berkat dari-Nya. Cita-cita Negara pasti
terwujud jikalau segenap eksponen dan komponen Negeri ini konsisten menjalankan
Konstitusi Negara yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun sebaliknya,
jika para pemimpin tidak mau dan mampu mengamalkannya, maka “jembatan emas” akan
rubuh dan gapura kemerdekaan akan selalu tertutup, sehingga masyarakat hanya akan
berada di depan pintu gerbang tanpa bisa memasuki dan menikmatinya. Alhasil cita-cita
atau tujuan bernegara hanya akan menjadi ilusi khayalan tidak termanifestasi
dalam alam kenyataan.
Bahkan jikalau para petinggi negeri ini terus menerus mencederai amanat
konstitusi dan melampui batas nurani Ilahi, maka tidak menutup kemungkinan
Tuhan Yang Maha Esa akan segera menggulirkan ruang dan batas waktu kelahiran
kepada kematiannya, karena setiap yang lahir pasti ajal, sehingga semboyan “NKRI
Harga Mati” bisa saja benar-benar terjadi, tinggal sejarah dan saling
membubarkan diri. Dia akan mengganti bangsa ini dengan kelahiran bangsa baru yang
lebih setia dan tidak mempersekutukan-Nya. Mari belajar dari bangsa-bangsa besar
yang telah bubar manakala tidak mampu mewujudkan harapan atau cita-cita
tertinggi dari perjanjian berdirinya suatu negeri. Dirgahayu Indonesia, selamat
refleksi dan berproyeksi, menuju kemerdekaan sejati yang paling hakiki.