Belajar “Rasa Hidup”
dari “Rasa Cabai”
Hukum
kehidupan menyatakan setiap yang menanam pasti memanen. Itulah frasa yang
penulis buktikan dan alami melalui aktivitas eksplorasi sederhana dengan
menanam tanaman cabai di pekarangan rumah. “Rasa Cabai Pedas” telah penulis
cicipi dengan memetik buah cabai setelah menunggu ratusan hari pasca
menanamnya. Rasa pedas yang tidak sekedar “pedas” karena ternyata banyak nilai
tambah “added value” dari rumus-rumus
kehidupan yang dapat diambil dari tumbuh kembangnya tanaman cabai. Sebuah pelajaran
yang mencerahkan bagi keberlangsungan hidup dan kehidupan secara benar.
Buah
cabai tidak ada yang tiba-tiba ada, tetapi membutuhkan proses. Awal penulis
menanam cabai diawali dari sebulir benih cabai yang beratnya tidak lebih dari
10 gram. Satu benih cabai pada waktu menanam dapat menghasilkan puluhan cabai atau
ribuan gram di masing-masing ranting tanaman cabai pada masa memanen. Benih
cabai tidak bisa serta merta tumbuh menjadi tanaman cabai, dirinya membutuhkan
tanah dan air untuk bisa hidup berkembang menjadi sebuah tanaman cabai. Tanaman
cabai harus dirawat, dipupuk, dibersihkan dari hama, diberikan tiang penyangga,
dan perawatan lainnya. Itulah ilustrasi dan fakta konkrit dari 1 benih cabai menjadi
tanaman cabai dan berbuah puluhan cabai yang terikat dengan ruang, masa dan
waktu.
Begitu juga
dengan kehidupan ini, setiap ide atau gagasan yang tidak terlihat akan menjadi
sesuatu yang konkrit, bermakna dan bermanfaat apabila dikelola, dirawat,
diperjuangkan berdasarkan ilmu. Pikiran yang bersifat abstrak dapat berubah
wujud menjadi nyata apabila diusahakan dan diupayakan secara maksimal. Ide di
dalam pikiran membutuhkan instrumen pendukung, waktu dan energi sehingga
bergerak menuju kenyataan. Semua benda karya ciptaan manusia di alam raya ini merupakan
hasil dari gambaran ide yang terlintas dalam pikirannya kemudian diproses pada
alam kenyataan. Produk ide tersebut mampu memberikan daya kegunaan dan kebermanfaatan
bagi manusia dan alam semesta.
Belajar dari
hukum kausalitas di atas, maka “rasa kehidupan” seperti kedamaian, kesejahteraan,
keadilan, kemakmuran dan lainnya bisa diupayakan dan diperjuangkan oleh
komponen dan eksponen manusia pada radius komunitas bangsa. “Rasa pedas” tidak
tiba-tiba bisa dinikmati, tetapi rasa dari cabai tersebut harus berproses dari
benih, tumbuh kembang, melawan hama, dan akhirnya berbuah cabai. Tentu saja,
rasa kedamaian dan kesejahteraan harus diawali dari keinginan bersama untuk
mewujudkannya, lalu bersama-sama berproses dan berjuang tumbuh berkembang
melawan hambatan maupun rintangan menuju terwujudnya “rasa kehidupan” tersebut.
Dengan kata lain, tidak mungkin rasa atau cita-cita kedamaian, kesejahteraan
dan keadilan akan tercapai tanpa adanya komunitas bangsa yang menyemai dan
konsisten mengelolanya dengan benar.
Rumusnya,
tanaman cabai yang panen di kebun pekarangan rumah ini adalah tanaman yang baik
karena akarnya menghujam, batangnya menjulang tinggi besar dan berbuah pada
musimnya. Penulis pun juga menyaksikan ada beberapa tanaman cabai yang mati
tidak kuat diterpa hama dan ujian alam sehingga tidak mampu berbuah dan tidak
dapat dinikmati “rasa pedas”-nya. Benih itu mati terkubur dalam tanah. Sama
halnya dengan “rasa hidup” kedamaian dan kesejahteraan, hanya akan bisa
dinikmati apabila “tanaman bangsa” ini memiliki akar yang teguh dan batang yang
kuat sehingga berbuah setiap musimnya.
Pertanyaannya,
apakah para pembaca ini sudah merasakan “rasa hidup” seperti kedamaian,
kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan di negeri ini? Hanya kita sendiri yang
bisa merasakannya karena kita terlibat dalam sistem hidup bangsa yang gemah
ripah loh jinawi ini. Silakan rasakan dengan jujur “rasa cabai” di bangsa ini,
sehingga kita akan mampu melihat dengan jernih tumbuh kembang “tanaman negeri”
ini. Tanaman yang baik akan menghasilkan buah yang baik dan tanaman yang buruk
tidak akan pernah menghasilkan buah yang baik. Negeri yang baik tidak akan
pernah menghasilkan situasi dan kondisi hidup dan kehidupan yang tidak baik.