Minggu, 04 Februari 2018

Anakku Objek Pengabdianku Kepada Pencipta-Ku



Anakku Objek Pengabdiaku Kepada Pencipta-Ku
Ulang Tahun Ke-3 Anakku


Eksistensi Dia dalam Mencipta Anakku
Tepat pada tanggal 4 Februari 2015, anakku Atmadeva Mikayla Hanifatara terlahir ke dunia. Dan kini di hari tanggal yang sama dengan tahun berbeda, 2018, ia sudah melintasi ruang dan waktu di alam nyata selama 3 tahun. Saat lahirnya kala itu, ia tanpa busana, tidak bisa apa-apa, bahkan berat badannya hanya 2500 gram dengan panjang 45 cm. Kini setelah 1080 hari kemudian, bentuk fisiknya sudah jauh tumbuh berkembang sempurna, dengan berat 11.000 gram dan tinggi 86 cm, atau telah terjadi pelipatgandaan pertumbuhan dari keduanya.

Sedikit kembali lebih jauh ke belakang, 9 bulan sebelum kelahirannya, profil dan dimensi anakku tidak pernah terpikirkan, tergambarkan, dan tidak visualisasikan sebagaimana di dunia sekarang ini. Ia baru mulai dirancang pasca aku dan istriku menikah pada 19 April 2014. Segumplal spermaku (nutfah) yang hina itu mulai menerabas mencari indung telur ovarium dari pasangan fitrahnya di dalam kantong rahim istriku. Keduanya bertemu dan menyatu menjadi ikatan sel gabungan kedua DNA pasangan dua sejoli. Sel ini terus membelah diri dan berkembang sesuai design karya ciptaan Sang Maha Pencipta sesuai rentetan perjalanan waktu. Tanda-tanda dirinya “ada” dan “hidup” ketika istriku tidak lagi haid keluar darah karena keberhasilan proses pembuahan sel di dalam rahimnya. 

Aku sendiri semakin mengakui keberadaan eksistensi keberadaan dari Dia yang Maha Pencipta segala sesuatu. Aku tidak pernah membentuk tangan, kaki dan segala perangkat tubuh anakku semasa di dalam kandungan ibunya. Aku hanya menjadi mediator, dipakai oleh Dia, dgn mengantarkan sperma ke dalam alat kelamin istriku. Setelah itu, diriku tidak pernah terlibat dalam penciptaan anak itu di dalam rahim ibunya, mulai dari janin hingga terjadinya kesempurnaan dan kelahiran jabang bayi itu. Inilah keterbatasan manusia, harus mengakui adanya Sang Pencipta, karena apapun yang terbentuk dan tercipta merupakan sebuah karya dari yang mencipta, tidak ada sesuatu terjadi tanpa ada yang mengkreasikannya. Sebagai contoh, sebuah ukiran atau patung Arca Borobudur bisa berbentuk seperti itu karena ada pemahatnya, batu biasa tanpa dipahat dan diukir tidak akan pernah bisa berubah bentuk sebegitu indahnya. Arca itu berbeda dari batu sebagai bahan dasarnya setelah dipahat oleh penciptanya.

Bayangkan saja, sperma dan ovarium yang hanya berbentuk gumpalan protein, hanya bisa dilihat isi didalamnya dengan jelas posturnya dengan Microskop, tanpa campur tangan manusia, dan aku juga tidak pernah membentuk (memahat atau mengukir) anakku di dalam perut ibunya, pada masa rentang waktu 9 bulan bisa berubah bentuk menjadi istimewa dengan segala instrumen kelengkapan struktur tubuhnya. Dari "tidak ada menjadi ada", dari "tidak berbentuk berubah menjadi kerangka tubuh yang sempurna", tentu saja ada sesuatu yang mencipta dan membentuk atau "memahatnya", dimana aku yakin yang melakukan semua itu adalah Tuan Semesta Alam, Allah, Sang Hyang Widi Wasa, Gusti Allah, atau Tuan Yang Maha Esa.

Peran Orangtua Mewakili-Nya Untuk Mendidikmu
Allah, Dia yang mencipta anakkku akhirnya mengeluarkannya melalui mulut rahim istriku ke alam nyata. Dia mengeluarkan anakku dalam kondisi tidak tahu apa-apa (tabularasa) dan hanya memberikan kesempurnaan tubuhnya disertai dengan instrumen pelangkap panca indera sebagai bekal hidupnya. Anakku terpisah dari plasenta ibunya dan tidak lagi hidup di kandungan melainkan di alam dunia. Ia mengalami fase baru pasca kelahirannya, tantangan baru, situasi baru yang membutuhkan adaptasi dan asupan energi demi melanjutkan kehidupannya.

Kini, setelah anakku terlahir dan berada di dunia, fungsi pembentukan atau "pemahatan" itu diembankan oleh-Nya kepadaku selaku orangtuanya. Anak akan menjadi Yahudi, Nasrani atau Islam, hitam, begitu sabda Muhammad Rasulullah yang terukir dalam lintasan hadistnya. Anak-anak akan menjadi pribadi dengan nuansa putih, kuning, merah, hijau dan lainnya tergantung orangtuanya Hal ini sangat benar, karena anak-anak akan menjadi mukmin-musyrik, muslim-kafir, berjalan di shiratal mustaqim-shiratal maghdub, sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh didikan atau celupan orangtuanya, selaku wakil-Nya di muka bumi. Tanggung jawab dan peran orangtua adalah mengatur, mendidik, mengayomi, melindungi, membesarkan anaknya menuju tujuan penciptaannya, menjadi manusia sesuai Potret Diri-Nya.

Fase kehidupan anak pada usia kanak-kanak sebagai anakku pada hari ini, merupakan fase paling menentukan dalam membangun dan mendidik karakter. Anakku sedang mengalami fase usia emas "golden age" perkembangan daya serap belajarnya. Usia emas ini, instrumen pokok manusia yaitu otak, diibaratkan seperti "spons". Otak akan menyerap apa saja yang ada di sekitarnya dan bersentuhan melalui panca inderanya. Otak akan menyimpan segala peristiwa penting dan berkesan hasil eksplorasi pengamatan alamiah yang dilakukannya. Ia sedang "mendownload" pesan, data dan informasi yang ada di luar dirinya "alam raya eksternal" untuk disimpan dalam arsip memori yang ada di Cerebrum, Cerebelum, dan Limbik sistem dari bagian struktur otaknya atau "alam raya internal" pikiran manusia. Ia akan memproses segala stimulus di lingkungannya kemudian memberikan respons atas apa yang dialaminya. Siklus belajar ini akan terus terjadi sepanjang hayat kehidupannya.

Oleh karenanya, aku sebagai orangtua harus membiasakan diri menampilkan sesuatu yang positif dan benar kepada dirinya. Cara belajar paling cepat dan efektif adalah mencontoh atau duplikasi atau uswah suri tauladan. Tidak heran jikalau hukum belajar ini diabadikan dalam kitab suci, "Sesungguhnya dalam diri Rasulullah itu terdapat suri tauladan bagimu bagi orang yang mengharap Rahmat atau ridha Allah". Prinsip keteladanan ini merupakan hukum belajar “quantum learning” dalam mendidik dan mengajar anak untuk mencapai tujuannya. Belajar dengan mencontoh merupakan proses terlengkap dan tercanggih dalam mengoptimalkan penglihatan, pendengaran dan pikiran setiap insan manusia. Hal ini selaras dengan karunia Allah agar manusia memfungsikan dengan baik instrumen mata, telinga dan qolbu yang akan dimintai pertanggungjawabannya.

Anak sebagai garis generasi orangtua membutuhkan kecerdasan untuk melanjutkan visi misi cita-cita orangtuanya. Anak harus mempunyai kecerdasan spiritual, emosional dan intelektual. Kecakapan dan kompetensi ketiganya memerlukan daya dan upaya serta proses belajar (learning by thingking, learning by doing dan learning to be) atau dalam bahasa Arabnya (yatlu alaihim ayatihi, yuzakihim, yualimu humul kitab wal hikmah) secara sistematis, berkesinambungan dan berkelanjutan semasa hidupnya. Metodologi tahapan atau tingkatan belajar ini merupakan jalan yang harus ditempuh oleh setiap insan manusia menuju keparipurnaan ciptaan-Nya. Tanpa itu, mustahil akan menjadi manusia sempurna sesuai tujuan penciptaannya.

Otak “ Qalbu” Sebagai Tempat Menanam Ilmu
Allah, Tuan Semesta Alam yang Maha Berilmu (Al-Ilm) tentu saja akan mengajarkan pendidikan ilmu kepada manusia melalui perantaraan para Utusan-Nya. Mutiara pengetahuan dan keilmuan “firman” ini akan ditransformasikan dari Juru Bicara-Nya kepada orangtua untuk mendidik generasi penerusnya. Kemudian orangtua inilah yang akan meneruskan dan mentransmisikan ilmu kepada anak-anaknya. Orang tua memainkan peran sebagai mediator Dia dalam mengader dan mencelup anak agar berkarakter seperti-Nya, "tahallaqu bi akhlak qilla", berakhlaklah kamu dengan akhlak Allah Yang Maha Esa. Orangtua juga harus mewakili Dia yang Maha Rahman dan Rahim dalam berbuat kasih dan sayang kepada anak-anaknya dalam kapasitas dirinya sebagai manusia.

Orangtua diberikan media atau lahan ibadah oleh Allah melalui anak-anaknya. Anak adalah objek pengabdian bagi orangtua dalam mengabdi kepada-Nya. Pikiran atau qalbu anak merupakan objek atau lahan subur yang diibaratkan seperti "tanah" yang harus diolah dan ditanami "benih" agar tumbuh menjadi pohon yang akan berbuah pada masa panennya. Pikiran anak akan ditanami "pohon yang baik" atau "pohon yang buruk" tergantung hasrat, motivasi dan pengawalan orangtuanya. Untuk itu, manusia harus berbuat kasih atau Rahman-Nya dengan memberikan asupan fisik material demi pertumbuhannya, dan selalu berbuat sayang atau Rahim-Nya dengan mengajarkan ilmu-Nya dalam setiap waktu perkembangannya. Inilah tugas mulia dari Dia kepada orangtua yang menjadi penggantinya pada saat anak masih kecil hingga dewasa.

Kini diusia anakku yang ketiga, kami selaku orangtua, akan berusaha keras dan maksimal untuk mematikan dirinya belajar sesuai dengan kehendak-Nya. Aku tidak mempunyai cita-cita lain kecuali mempersiapkan dirimu menjadi manusia yang beriman, selalu setia, tunduk patuh, berserah diri kepada-Nya. Kecerdasan ilahi atau mental spiritual aku prioritaskan atas dirimu di luar "pendidikan formal nan seremonial" untuk bangunan intelektualmu. Aku yakin semakin bertambah umurmu maka dirimu mempunyai cara belajar untuk mendapatkan kemampuan bakat dan minat seperti halnya kecerdasan spasial, musikal, interpersonal, intrapersonal, bahasa, matematika, naturalistik, dan lain sebagainnya sebagaimana terpetakan dalam belahan otak kanan dan kiri. 

Alam semesta akan selalu mengajarkanmu tentang kecerdasan itu, tetapi khusus kecerdasan wahyu atau Ruhul Qudus atau mental spiritual hanya akan diajarkan oleh firman dari orang berilmu yang ada di sekitarmu. Kecerdasan intlektual ini sangat mudah, bisa dicari dan dikembangkan saat usiamu kelak dewasa nanti, tetapi kini saat usiamu di era "keemasan", aku bertanggungjawab agar di dalam qalbu terpatri iman dan kebiasaan spiritual yang akan menuntunmu kepada keparipurnaan. Kelak ketika otakmu sudah bisa menyerap disiplin ilmu, maka aku akan mengajarkan yang demikian kepadamu. Kedua sumber ilmu ini, alam semesta dan firman Allah di dalam kitab-kitabnya yang disampaikan oleh Utusan-Nya, merupakan dua sumber ilmu yang akan membentuk dirimu menjadi manusia yang siap menjadi khalifah-Nya di muka bumi. Personifikasi dari kekuatan ruh pada alam (Mikail) dan wahyu di dalam Firman (Jibril) inilah yang harus selalu dirimu “download” dan “instalasikan” dalam lintasan neurotransmiter (sistem syaraf otak) menuju memori kesadaran untuk menjadi dasar tindakan atau perilaku “upload” demi kebermanfaatan universal.

Terakhir, selamat hari darah daging kepada anakku. Lintasan umurmu menjadi ingatan "early warning system'" bagiku untuk memastikan, mengontrol, dan mengawal tumbuh kembang tubuhmu dan muatan isi qalbumu. Semoga kelak saat kamu dewasa, diusia senjaku bahkan di akhir hayatku, dirimu akan memilih jalan hidup sebagaimana jalan hidup yang telah kupilih pada hari ini, Jalan Kebenaran Sejati, Jalan Shiratal Mustaqim, Jalan para Rasul Allah yang telah mendapatkan nikmat dari-Nya. Inilah tugas utamaku yang dimandatkan atau diamanahkan oleh Dia yang menciptakan aku dan dirimu, membesarkanmu, melindungimu, melayanimu, mendidikmu menjadi manusia paripurna sebagaimana yang dicontohkan dan diuswahkan manusia pilihan-Nya. Semoga Dia terus melindungi dan menolongku, istriku dan anak-anakku sampai akhir waktu dalam berjuang menuju tegaknya Kerajaan-Mu.