Anakku Objek Pengabdiaku Kepada Pencipta-Ku
Ulang Tahun Ke-3
Anakku
Eksistensi Dia dalam Mencipta
Anakku
Tepat pada tanggal 4 Februari
2015, anakku Atmadeva Mikayla Hanifatara terlahir ke dunia. Dan kini di hari
tanggal yang sama dengan tahun berbeda, 2018, ia sudah melintasi ruang dan
waktu di alam nyata selama 3 tahun. Saat lahirnya kala itu, ia tanpa busana,
tidak bisa apa-apa, bahkan berat badannya hanya 2500 gram dengan panjang 45 cm.
Kini setelah 1080 hari kemudian, bentuk fisiknya sudah jauh tumbuh berkembang
sempurna, dengan berat 11.000 gram dan tinggi 86 cm, atau telah terjadi
pelipatgandaan pertumbuhan dari keduanya.
Sedikit kembali lebih jauh ke
belakang, 9 bulan sebelum kelahirannya, profil dan dimensi anakku tidak pernah
terpikirkan, tergambarkan, dan tidak visualisasikan sebagaimana di dunia sekarang
ini. Ia baru mulai dirancang pasca aku dan istriku menikah pada 19 April 2014.
Segumplal spermaku (nutfah) yang hina
itu mulai menerabas mencari indung telur ovarium dari pasangan fitrahnya di
dalam kantong rahim istriku. Keduanya bertemu dan menyatu menjadi ikatan sel
gabungan kedua DNA pasangan dua sejoli. Sel ini terus membelah diri dan
berkembang sesuai design karya ciptaan Sang Maha Pencipta sesuai rentetan
perjalanan waktu. Tanda-tanda dirinya “ada” dan “hidup” ketika istriku tidak
lagi haid keluar darah karena keberhasilan proses pembuahan sel di dalam rahimnya.
Aku sendiri semakin mengakui
keberadaan eksistensi keberadaan dari Dia yang Maha Pencipta segala sesuatu.
Aku tidak pernah membentuk tangan, kaki dan segala perangkat tubuh anakku
semasa di dalam kandungan ibunya. Aku hanya menjadi mediator, dipakai oleh Dia,
dgn mengantarkan sperma ke dalam alat kelamin istriku. Setelah itu, diriku
tidak pernah terlibat dalam penciptaan anak itu di dalam rahim ibunya, mulai
dari janin hingga terjadinya kesempurnaan dan kelahiran jabang bayi itu. Inilah
keterbatasan manusia, harus mengakui adanya Sang Pencipta, karena apapun yang
terbentuk dan tercipta merupakan sebuah karya dari yang mencipta, tidak ada
sesuatu terjadi tanpa ada yang mengkreasikannya. Sebagai contoh, sebuah ukiran
atau patung Arca Borobudur bisa berbentuk seperti itu karena ada pemahatnya,
batu biasa tanpa dipahat dan diukir tidak akan pernah bisa berubah bentuk
sebegitu indahnya. Arca itu berbeda dari batu sebagai bahan dasarnya setelah
dipahat oleh penciptanya.
Bayangkan saja, sperma dan
ovarium yang hanya berbentuk gumpalan protein, hanya bisa dilihat isi
didalamnya dengan jelas posturnya dengan Microskop, tanpa campur tangan
manusia, dan aku juga tidak pernah membentuk (memahat atau mengukir) anakku di
dalam perut ibunya, pada masa rentang waktu 9 bulan bisa berubah bentuk menjadi
istimewa dengan segala instrumen kelengkapan struktur tubuhnya. Dari
"tidak ada menjadi ada", dari "tidak berbentuk berubah menjadi
kerangka tubuh yang sempurna", tentu saja ada sesuatu yang mencipta dan
membentuk atau "memahatnya", dimana aku yakin yang melakukan semua
itu adalah Tuan Semesta Alam, Allah, Sang Hyang Widi Wasa, Gusti Allah, atau
Tuan Yang Maha Esa.
Peran Orangtua Mewakili-Nya Untuk
Mendidikmu
Allah, Dia yang mencipta anakkku
akhirnya mengeluarkannya melalui mulut rahim istriku ke alam nyata. Dia
mengeluarkan anakku dalam kondisi tidak tahu apa-apa (tabularasa) dan hanya
memberikan kesempurnaan tubuhnya disertai dengan instrumen pelangkap panca
indera sebagai bekal hidupnya. Anakku terpisah dari plasenta ibunya dan tidak
lagi hidup di kandungan melainkan di alam dunia. Ia mengalami fase baru pasca
kelahirannya, tantangan baru, situasi baru yang membutuhkan adaptasi dan asupan
energi demi melanjutkan kehidupannya.
Kini, setelah anakku terlahir dan
berada di dunia, fungsi pembentukan atau "pemahatan" itu diembankan
oleh-Nya kepadaku selaku orangtuanya. Anak akan menjadi Yahudi, Nasrani atau
Islam, hitam, begitu sabda Muhammad Rasulullah yang terukir dalam lintasan
hadistnya. Anak-anak akan menjadi pribadi dengan nuansa putih, kuning, merah,
hijau dan lainnya tergantung orangtuanya Hal ini sangat benar, karena anak-anak
akan menjadi mukmin-musyrik, muslim-kafir, berjalan di shiratal mustaqim-shiratal maghdub, sangat ditentukan dan
dipengaruhi oleh didikan atau celupan orangtuanya, selaku wakil-Nya di muka
bumi. Tanggung jawab dan peran orangtua adalah mengatur, mendidik, mengayomi,
melindungi, membesarkan anaknya menuju tujuan penciptaannya, menjadi manusia
sesuai Potret Diri-Nya.
Fase kehidupan anak pada usia
kanak-kanak sebagai anakku pada hari ini, merupakan fase paling menentukan
dalam membangun dan mendidik karakter. Anakku sedang mengalami fase usia emas
"golden age" perkembangan
daya serap belajarnya. Usia emas ini, instrumen pokok manusia yaitu otak,
diibaratkan seperti "spons".
Otak akan menyerap apa saja yang ada di sekitarnya dan bersentuhan melalui
panca inderanya. Otak akan menyimpan segala peristiwa penting dan berkesan
hasil eksplorasi pengamatan alamiah yang dilakukannya. Ia sedang "mendownload" pesan, data dan informasi
yang ada di luar dirinya "alam raya eksternal" untuk disimpan dalam
arsip memori yang ada di Cerebrum, Cerebelum, dan Limbik sistem dari bagian
struktur otaknya atau "alam raya internal" pikiran manusia. Ia akan
memproses segala stimulus di lingkungannya kemudian memberikan respons atas apa
yang dialaminya. Siklus belajar ini akan terus terjadi sepanjang hayat
kehidupannya.
Oleh karenanya, aku sebagai
orangtua harus membiasakan diri menampilkan sesuatu yang positif dan benar
kepada dirinya. Cara belajar paling cepat dan efektif adalah mencontoh atau
duplikasi atau uswah suri tauladan. Tidak heran jikalau hukum belajar ini
diabadikan dalam kitab suci, "Sesungguhnya dalam diri Rasulullah itu
terdapat suri tauladan bagimu bagi orang yang mengharap Rahmat atau ridha
Allah". Prinsip keteladanan ini merupakan hukum belajar “quantum learning”
dalam mendidik dan mengajar anak untuk mencapai tujuannya. Belajar dengan
mencontoh merupakan proses terlengkap dan tercanggih dalam mengoptimalkan
penglihatan, pendengaran dan pikiran setiap insan manusia. Hal ini selaras
dengan karunia Allah agar manusia memfungsikan dengan baik instrumen mata,
telinga dan qolbu yang akan dimintai pertanggungjawabannya.
Anak sebagai garis generasi
orangtua membutuhkan kecerdasan untuk melanjutkan visi misi cita-cita
orangtuanya. Anak harus mempunyai kecerdasan spiritual, emosional dan
intelektual. Kecakapan dan kompetensi ketiganya memerlukan daya dan upaya serta
proses belajar (learning by thingking,
learning by doing dan learning to be)
atau dalam bahasa Arabnya (yatlu alaihim
ayatihi, yuzakihim, yualimu humul kitab wal hikmah) secara
sistematis, berkesinambungan dan berkelanjutan semasa hidupnya. Metodologi
tahapan atau tingkatan belajar ini merupakan jalan yang harus ditempuh oleh
setiap insan manusia menuju keparipurnaan ciptaan-Nya. Tanpa itu, mustahil akan
menjadi manusia sempurna sesuai tujuan penciptaannya.
Otak “ Qalbu” Sebagai Tempat Menanam Ilmu
Allah, Tuan Semesta Alam yang
Maha Berilmu (Al-Ilm) tentu saja akan mengajarkan pendidikan ilmu kepada
manusia melalui perantaraan para Utusan-Nya. Mutiara pengetahuan dan keilmuan “firman”
ini akan ditransformasikan dari Juru Bicara-Nya kepada orangtua untuk mendidik
generasi penerusnya. Kemudian orangtua inilah yang akan meneruskan dan
mentransmisikan ilmu kepada anak-anaknya. Orang tua memainkan peran sebagai mediator
Dia dalam mengader dan mencelup anak agar berkarakter seperti-Nya, "tahallaqu bi akhlak qilla",
berakhlaklah kamu dengan akhlak Allah Yang Maha Esa. Orangtua juga harus
mewakili Dia yang Maha Rahman dan Rahim dalam berbuat kasih dan sayang kepada
anak-anaknya dalam kapasitas dirinya sebagai manusia.
Orangtua diberikan media atau
lahan ibadah oleh Allah melalui anak-anaknya. Anak adalah objek pengabdian bagi
orangtua dalam mengabdi kepada-Nya. Pikiran atau qalbu anak merupakan objek
atau lahan subur yang diibaratkan seperti "tanah" yang harus diolah
dan ditanami "benih" agar tumbuh menjadi pohon yang akan berbuah pada
masa panennya. Pikiran anak akan ditanami "pohon yang baik" atau
"pohon yang buruk" tergantung hasrat, motivasi dan pengawalan
orangtuanya. Untuk itu, manusia harus berbuat kasih atau Rahman-Nya dengan
memberikan asupan fisik material demi pertumbuhannya, dan selalu berbuat sayang
atau Rahim-Nya dengan mengajarkan ilmu-Nya dalam setiap waktu perkembangannya.
Inilah tugas mulia dari Dia kepada orangtua yang menjadi penggantinya pada saat
anak masih kecil hingga dewasa.
Kini diusia anakku yang ketiga, kami
selaku orangtua, akan berusaha keras dan maksimal untuk mematikan dirinya
belajar sesuai dengan kehendak-Nya. Aku tidak mempunyai cita-cita lain kecuali
mempersiapkan dirimu menjadi manusia yang beriman, selalu setia, tunduk patuh,
berserah diri kepada-Nya. Kecerdasan ilahi atau mental spiritual aku
prioritaskan atas dirimu di luar "pendidikan formal nan seremonial"
untuk bangunan intelektualmu. Aku yakin semakin bertambah umurmu maka dirimu
mempunyai cara belajar untuk mendapatkan kemampuan bakat dan minat seperti
halnya kecerdasan spasial, musikal, interpersonal, intrapersonal, bahasa,
matematika, naturalistik, dan lain sebagainnya sebagaimana terpetakan dalam
belahan otak kanan dan kiri.
Alam semesta akan selalu
mengajarkanmu tentang kecerdasan itu, tetapi khusus kecerdasan wahyu atau Ruhul
Qudus atau mental spiritual hanya akan diajarkan oleh firman dari orang berilmu
yang ada di sekitarmu. Kecerdasan intlektual ini sangat mudah, bisa dicari dan
dikembangkan saat usiamu kelak dewasa nanti, tetapi kini saat usiamu di era
"keemasan", aku bertanggungjawab agar di dalam qalbu terpatri iman
dan kebiasaan spiritual yang akan menuntunmu kepada keparipurnaan. Kelak ketika
otakmu sudah bisa menyerap disiplin ilmu, maka aku akan mengajarkan yang
demikian kepadamu. Kedua sumber ilmu ini, alam semesta dan firman Allah di
dalam kitab-kitabnya yang disampaikan oleh Utusan-Nya, merupakan dua sumber
ilmu yang akan membentuk dirimu menjadi manusia yang siap menjadi khalifah-Nya
di muka bumi. Personifikasi dari kekuatan ruh pada alam (Mikail) dan wahyu di
dalam Firman (Jibril) inilah yang harus selalu dirimu “download” dan “instalasikan” dalam lintasan neurotransmiter (sistem
syaraf otak) menuju memori kesadaran untuk menjadi dasar tindakan atau perilaku
“upload” demi kebermanfaatan
universal.
Terakhir, selamat hari darah
daging kepada anakku. Lintasan umurmu menjadi ingatan "early warning system'" bagiku untuk
memastikan, mengontrol, dan mengawal tumbuh kembang tubuhmu dan muatan isi qalbumu.
Semoga kelak saat kamu dewasa, diusia senjaku bahkan di akhir hayatku, dirimu
akan memilih jalan hidup sebagaimana jalan hidup yang telah kupilih pada hari ini,
Jalan Kebenaran Sejati, Jalan Shiratal
Mustaqim, Jalan para Rasul Allah yang telah mendapatkan nikmat dari-Nya.
Inilah tugas utamaku yang dimandatkan atau diamanahkan oleh Dia yang
menciptakan aku dan dirimu, membesarkanmu, melindungimu, melayanimu, mendidikmu
menjadi manusia paripurna sebagaimana yang dicontohkan dan diuswahkan manusia
pilihan-Nya. Semoga Dia terus melindungi dan menolongku, istriku dan
anak-anakku sampai akhir waktu dalam berjuang menuju tegaknya Kerajaan-Mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar