BERDAYA KARENA
USIA
Demi masa. Sesungguhnya
manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati
supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.
(QS. Al-Ashr
[103]: 1-3)
Tengah malam dini hari, Kamis 20 September
2018, bertepatan dengan momentum bertambahnya usia “darah dan daging” ke-33 tahun,
aku termenung dan teringat ajaran firman Allah yang menyengat qalbu. Narasi surat yang berisi “pesan” dari Sang
Maha Pencipta ini sangat menyentuh kesadaran paling dalam bagi setiap insan
yang menghendaki diri pribadinya berkarakter Ilahi. Terlebih lagi,
esensi ayat atau ilmu Allah ini sangat berkaitan dengan laju deret ukur hidup dan matinya
manusia yang sangat ditentukan oleh masa atau waktu. Aku pun bersumpah demi
masa atau waktu, bahwa semua kejadian peristiwa itu terikat oleh faktor waktu.
Segala sesuatu yang eksis di alam semesta
ditentukan oleh dimensi ruang, massa dan waktu. Keberadaanku pada hari ini, bisa hidup
dan bernafas hingga umur "sepertiga abad" karena variabel waktu. Dari waktu
ini pula akan menentukan nilai atau citra diri manusia apakah menjadi pribadi yang rugi
ataupun beruntung. Demi waktu, manusia berada dalam kerugian apabila tidak
memanfaatkan waktu untuk mencari kebenaran ilmu sehingga menjadi orang beriman dan
beramal saleh serta saling menasehati dalam kesabaran.
Demi masa atau waktu, derajat dan kualitas
manusia ditentukan oleh kemampuan dirinya memanfaatkan waktu untuk berbuat sesuatu
dengan benar sesuai dengan ilmu-Nya. Manusia akan berdaya dan berhasil guna
apabila memperhatikan unsur waktu dalam melakukan sesuatu. Waktu adalah elemen
yang tidak bisa dipisahkan dari keberadaan manusia sebagai makhluk yang terikat
dengan kegunaan dirinya pada lingkungan personal, komunal, regional dan global.
Semakin manusia dapat mengefisienkan dan mengoptimalkan
waktu, maka manusia tersebut akan semakin berdaya dan bermanfaat bagi semesta raya. Dalam ilmu fisika, daya
adalah kecepatan melakukan kerja. Daya sama dengan jumlah energi yang
dihabiskan per satuan waktu, atau laju energi yang dihantarkan selama melakukan
usaha dalam periode waktu tertentu. Semakin singkat waktu yang dibutuhkan untuk
melakukan usaha, maka daya yang dikeluarkan semakin besar. Begitulah seharusnya
dengan manusia, ia harus memiliki daya iman atau “Ruh” energi yang besar agar
bisa melakukan usaha atau praktik amal saleh demi kebermanfaatan universal.
Setiap insan manusia mempunyai tugas
sebagai khalifah-Nya atau mediator bagi Pencipta untuk berbuat kasih sayang “rahman
dan rahim” kepada seluruh makhluknya. Tentu saja, manusia ini harus mempunyai “daya”
dan “energi” yang cukup besar agar mampu mentransformasikan dan
mendistribusikan kasih sayang-Nya kepada sesama umat manusia, tanpa melihat
batas-batas atau sekat ras, suku, agama, negara bangsa dan lainnya. Berbuat
baik dan benar adalah manifestasi dari semua ajaran kitab suci sebagai
sumber energi-Nya, sebagaimana perintah untuk berbuat kebaikan di dalam surat
Al-Qasash (28) ayat 77 berikut ini.
Dan carilah pada
apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.
Daya atau energi untuk “Berbuat baiklah
kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu” merupakan
kunci “extra power” dari kesadaran setiap orang beriman untuk menunjukkan eksistensinya
sebagai wakil-Nya di muka bumi. Dia tidak pernah berbuat jahat kepada manusia
melainkan manusia itu sendiri yang menzalimi dirinya. Allah tidak pernah
pandang bulu atau pilih kasih dalam memberikan pelayanan kepada seluruh makluknya baik yang ada di langit maupun di bumi. Karakter
inilah yang harus termanifestasi manunggal ke dalam jati diri seorang manusia.
Tentu saja, untuk bisa berbuat baik dan
benar seperti itu sudah pasti membutuhkan “perjuangan” dan “pengorbanan” baik
harta, jiwa maupun raga. Itulah kenapa Dia selalu mengingatkan bahwa manusia
yang paling rugi adalah manusia yang tidak memanfaatkan waktunya untuk
memberikan peringatan dan saling menasehati dalam kesabaran. Ini adalah hukum
kausalitas, setiap perjuangan membutuhkan pengorbanan, dan setiap perbuatan
membutuhkan investasi jiwa raga yang menguras kesabaran dan keikhlasan.
Itulah fungsi daya dan energi (Wahyu dan
Ruh) yang akan menghasilkan usaha atau kerja nyata amal saleh bagi kemaslahatan
umat manusia. Sudah seyogyanya, semakin manusia diberikan tambahan waktu dan
umur panjang kehidupannya maka harus meningkatkan daya dorong dan ledakan energi
spiritual dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai visi, misi dan tujuan
penciptaan-Nya. Setiap diri harus menempatkan diri sesuai dengan peran skenario
dari Sang Sutradara agar mendapatkan ridha-Nya. Semua itu membutuhkan daya,
energi, ruh spiritual yang sangat ditentukan oleh alokasi waktu atau masa jatah
hidup setiap diri masing-masing manusia.
Perjalanan waktu jantung berdenyut manusia itu
terbatas. Setiap yang berjiwa pasti mati. Ini sunnatullah yang pasti berlaku
pada setiap insan manusia. Setiap pertambahan usia akan mengurangi jatah hidup
manusia sesuai dengan lintas batasan waktu yang telah ditetapkan oleh-Nya. Hari
ini aku bisa bernafas hingga umur ke-33 tahun, tetapi aku juga tidak tahu akan
sampai kapan hidupku ini terus berlanjut. Oleh karenanya, diri ini hanya pasrah
“tunduk-patuh” kepada Jalan Kebenaran yang akan menjagaku pada jalur komitmen “iman”
dan konsisten “amal saleh”, sehingga di masa-masa sisa hidupku dan bertambahnya
usia ini tetap berdaya serta bermanfaat bagi alam semesta. Salam Damai dan Sejahtera.