Kamis, 20 September 2018

BERDAYA KARENA USIA


BERDAYA KARENA USIA

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.
(QS. Al-Ashr [103]: 1-3)

Tengah malam dini hari, Kamis 20 September 2018, bertepatan dengan momentum bertambahnya usia “darah dan daging” ke-33 tahun, aku termenung dan teringat ajaran firman Allah yang menyengat qalbu.  Narasi surat yang berisi “pesan” dari Sang Maha Pencipta ini sangat menyentuh kesadaran paling dalam bagi setiap insan yang menghendaki diri pribadinya berkarakter Ilahi. Terlebih lagi, esensi ayat atau ilmu Allah ini sangat berkaitan dengan laju deret ukur hidup dan matinya manusia yang sangat ditentukan oleh masa atau waktu. Aku pun bersumpah demi masa atau waktu, bahwa semua kejadian peristiwa itu terikat oleh faktor waktu.

Segala sesuatu yang eksis di alam semesta ditentukan oleh dimensi ruang, massa dan waktu. Keberadaanku pada hari ini, bisa hidup dan bernafas hingga umur "sepertiga abad" karena variabel waktu. Dari waktu ini pula akan menentukan nilai atau citra diri manusia apakah menjadi pribadi yang rugi ataupun beruntung. Demi waktu, manusia berada dalam kerugian apabila tidak memanfaatkan waktu untuk mencari kebenaran ilmu sehingga menjadi orang beriman dan beramal saleh serta saling menasehati dalam kesabaran.

Demi masa atau waktu, derajat dan kualitas manusia ditentukan oleh kemampuan dirinya memanfaatkan waktu untuk berbuat sesuatu dengan benar sesuai dengan ilmu-Nya. Manusia akan berdaya dan berhasil guna apabila memperhatikan unsur waktu dalam melakukan sesuatu. Waktu adalah elemen yang tidak bisa dipisahkan dari keberadaan manusia sebagai makhluk yang terikat dengan kegunaan dirinya pada lingkungan personal, komunal, regional dan global. 

Semakin manusia dapat mengefisienkan dan mengoptimalkan waktu, maka manusia tersebut akan semakin berdaya dan bermanfaat bagi semesta raya. Dalam ilmu fisika, daya adalah kecepatan melakukan kerja. Daya sama dengan jumlah energi yang dihabiskan per satuan waktu, atau laju energi yang dihantarkan selama melakukan usaha dalam periode waktu tertentu. Semakin singkat waktu yang dibutuhkan untuk melakukan usaha, maka daya yang dikeluarkan semakin besar. Begitulah seharusnya dengan manusia, ia harus memiliki daya iman atau “Ruh” energi yang besar agar bisa melakukan usaha atau praktik amal saleh demi kebermanfaatan universal.

Setiap insan manusia mempunyai tugas sebagai khalifah-Nya atau mediator bagi Pencipta untuk berbuat kasih sayang “rahman dan rahim” kepada seluruh makhluknya. Tentu saja, manusia ini harus mempunyai “daya” dan “energi” yang cukup besar agar mampu mentransformasikan dan mendistribusikan kasih sayang-Nya kepada sesama umat manusia, tanpa melihat batas-batas atau sekat ras, suku, agama, negara bangsa dan lainnya. Berbuat baik dan benar adalah manifestasi dari semua ajaran kitab suci sebagai sumber energi-Nya, sebagaimana perintah untuk berbuat kebaikan di dalam surat Al-Qasash (28) ayat 77 berikut ini.

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Daya atau energi untuk “Berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu” merupakan kunci “extra power” dari kesadaran setiap orang beriman untuk menunjukkan eksistensinya sebagai wakil-Nya di muka bumi. Dia tidak pernah berbuat jahat kepada manusia melainkan manusia itu sendiri yang menzalimi dirinya. Allah tidak pernah pandang bulu atau pilih kasih dalam memberikan pelayanan kepada seluruh makluknya baik yang ada di langit maupun di bumi. Karakter inilah yang harus termanifestasi manunggal ke dalam jati diri seorang manusia. 

Tentu saja, untuk bisa berbuat baik dan benar seperti itu sudah pasti membutuhkan “perjuangan” dan “pengorbanan” baik harta, jiwa maupun raga. Itulah kenapa Dia selalu mengingatkan bahwa manusia yang paling rugi adalah manusia yang tidak memanfaatkan waktunya untuk memberikan peringatan dan saling menasehati dalam kesabaran. Ini adalah hukum kausalitas, setiap perjuangan membutuhkan pengorbanan, dan setiap perbuatan membutuhkan investasi jiwa raga yang menguras kesabaran dan keikhlasan.  

Itulah fungsi daya dan energi (Wahyu dan Ruh) yang akan menghasilkan usaha atau kerja nyata amal saleh bagi kemaslahatan umat manusia. Sudah seyogyanya, semakin manusia diberikan tambahan waktu dan umur panjang kehidupannya maka harus meningkatkan daya dorong dan ledakan energi spiritual dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai visi, misi dan tujuan penciptaan-Nya. Setiap diri harus menempatkan diri sesuai dengan peran skenario dari Sang Sutradara agar mendapatkan ridha-Nya. Semua itu membutuhkan daya, energi, ruh spiritual yang sangat ditentukan oleh alokasi waktu atau masa jatah hidup setiap diri masing-masing manusia.       

Perjalanan waktu jantung berdenyut manusia itu terbatas. Setiap yang berjiwa pasti mati. Ini sunnatullah yang pasti berlaku pada setiap insan manusia. Setiap pertambahan usia akan mengurangi jatah hidup manusia sesuai dengan lintas batasan waktu yang telah ditetapkan oleh-Nya. Hari ini aku bisa bernafas hingga umur ke-33 tahun, tetapi aku juga tidak tahu akan sampai kapan hidupku ini terus berlanjut. Oleh karenanya, diri ini hanya pasrah “tunduk-patuh” kepada Jalan Kebenaran yang akan menjagaku pada jalur komitmen “iman” dan konsisten “amal saleh”, sehingga di masa-masa sisa hidupku dan bertambahnya usia ini tetap berdaya serta bermanfaat bagi alam semesta. Salam Damai dan Sejahtera. 



 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar