Indonesia Dari
Masa Ke Masa
Indonesia, sebuah frasa yang selalu disandingkan
dengan berbagai macam bentuk Negara yang pernah lahir di tanah air Nusantara.
Ya, memang negara Indonesia ini pernah mempunyai bentuk pemerintahan yang
berbeda-beda pada zamannya masing-masing. Kehadiran Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) sekarang ini tidak terlepas dari bentuk negara Indonesia pada masa
sebelumnya. NKRI baru eksis mulai tahun 1950-hingga sekarang ini, dimana
sebelum itu Indonesia telah memiliki bentuk negara dan undang-undang dasar yang
bervariasi sesuai dengan kehendak sang tuan atau bidan yang melahirkannya.
NKRI hari ini adalah salah satu
bentuk negara baru dari serangkaian perjalanan bangunan organisasi politik kekuasaan
yang bernama Indonesia. NKRI pada masa Soekarno tahun 1950 hingga masa
munculnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah negara dengan Undang-Undang Dasar
Sementara tahun 1950 (UUDS 1950). Sementara itu, NKRI pada masa orde lama, orde
baru hingga orde reformasi ini, negara ini menggunakan UUD 1945 yang telah
diamandemen sebanyak empat kali. Sebuah negara dengan akar tunggang atau
konstitusi yang telah dirajut berulang kali sesuai dengan kepentingan kemajuan
zaman maupun kebutuhan segelincir elit yang mengatasnamakan cinta negeri ini.
Indonesia memang menjadi kata yang
manis untuk selalu dinisbatkan pada setiap kali perubahan mendasar dari
republik ini. Sebelum adanya NKRI, istilah Indonesia terlebih dahulu
disandarkan pada bentuk Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan oleh
Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Negara Republik Indonesia atau NRI
(1945-1949) berdiri atas inisiasi atau formatur bidan kelahiran dari Dokuritsu
Juni Chosakai, sebuah Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia yang
dibentuk Jepang. NRI menggunakan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
konstitusinya. Eksistensi Negara Republik Indonesia tidak berlangsung lama,
karena belum setahun negara ini berdiri sudah harus menghadapi ageresi militer
Belanda di beberapa wilayah Indonesia yang ingin merebut kembali kepangkuannya.
Serangan ageresi militer Belanda I
mengasilkan perjanjian Linggarjati (1946), dimana luas wilayah kedaulatan
Republik Indonesia hanya terdiri atas Jawa, Sumatera dan Madura. Sementara itu,
ageresi militer Belanda II yang menyerang pusat kekuasaan Republik Indonesia di
Yogyakarta, berakibat terjadinya kekalahan Indonesia dan penangkapan Soekarno
yang kemudian dibuang ke Muntog Bangka Belitung. Agresi militer II ini
menghasilkan perjanjian Renville (1949) dimana Belanda hanya mengakui wilayah
kedaulatan Indonesia meliputi 5 karisidenan di Yogyakarta. Pasca tragedi
tersebut, Negara Republik Indonesia kembali mendapati perubahan bentuk negara
di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda, yaitu Negara Republik Indonesia Serikat (RIS)
yang dibentuk dan dideklarasikan melalui Konferensi Meja Bundar di Den Hag
Belanda.
Republik Indonesia Serikat atau RIS
(1949-1950) dibentuk dengan konsep negara federal yang terbagi atas 15 negara
bagian. Konstitusi negara ini menggunakan Undang-Undang RIS tahun 1950. Setahun
berjalan dengan konsep negara federal, Indonesia sadar sedang dijadikan boneka
oleh Belanda dan aliansi Barat. Terkait dengan meningkatnya dukungan dari
komunis di Timur dan Rusia tahun 1950, maka Indonesia berani menyatakan diri
keluar dari konsep negara federal Republik Indonesia Serikat bentukan Belanda.
Indonesia melepaskan diri dari RIS dan membentuk organisasi politik kekuasaan
baru bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
NKRI tahun 1950 masih bersifat
darurat, sehingga Undang-Undang Dasar yang digunakan adalah UUD Sementara.
Pemerintahan saat itu langsung melakukan pemilu untuk memilih badan
konstituante yang bertugas menyusun undang-undang baru. Namun demikian, setelah
bersidang kurang lebih sembilan tahun, Dewan Konstituante gagal merumuskan
Undang-Undang Dasar yang baru. Pada saat itu, Soekarno langsung mengeluarkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang pada intinya berisi untuk membubarkan dewan
konstituante dan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Mulai saat itulah,
Soekarno menjalankan NKRI dengan sistem demokrasi terpimpin atau orde lama
selama kurang lebih 10 tahun sampai 1965. Kemudian orde baru mengisi NKRI
dengan kepemimpinan diktator yang berkuasa selama kurang lebih 32 tahun. Hingga
sekarang ini, NKRI telah diisi dengan berbagai macam sistem demokrasi baik
demokrasi liberal ataupun lainnya selama beberapa periode pergantian Presiden
yang dipilih secara langsung ini. Indonesia telah keluar dari jalur atau
khitahnya sebagai bangsa yang memiliki ideologi yang tidak condong ke barat
maupun ke timur.
Dari mana
asal Indonesia?
Itulah sejarah kehidupan Indonesia. Apapun bentuk
negaranya istilah Indonesia selalu terpatri dan tersemat dalam bentuk negara
tersebut. Tentu saja, nama atau istilah Indonesia tidak ada dengan sendirinya.
Nama itu pasti merupakan hasil kreasi atau pengungkapan oleh seseorang atau
sekelompok manusia yang menghendakinya. Keberadaannya pasti terikat dengan
waktu, karena tidak mungkin Indonesia itu ada semenjak tanah dan air itu ada.
Pada zaman dahulu pasti tidak mengenal Indonesia, karena dalam catatan sejarah
yang ada adalah nama-nama kerajaan berbasis Hindu, Budha maupun Kerajaan Islam
yang beraneka ragam jenisnya. Dulu di bumi pertiwi ini dikenal dengan
kejayaannya yaitu Sriwijaya dan Majapahit ratusan tahun silam, yang kini hanya
tinggal legenda.
Jika ditelurusi dalam sejarah, istilah atau nama
Indonesia baru terkenal dan digunakan oleh publik masyarakat Indonesia sekitar
tahun 1928. Pada saat itu, kaum pemuda pernah mengikatkan diri pada sumpah
pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Para pemuda saat itu bersumpah untuk bertanah
air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu yaitu bahasa Indonesia. Istilah
Indonesia ini juga dipopulerkan oleh Suwardi Suryaningrat yang lebih dikenal
dengan nama Ki Hajar Dewantara, beliau adalah anak bangsa yang pertama kali
menggunakan nama ‘Indonesia’. Sewaktu dibuang ke Belanda tahun 1913, ia
mendirikan biro pers dengan nama Indonesische Pers-Bureau. Sejak itu nama
‘Indonesia’ digunakan oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air hingga
nama itu memiliki makna politis yakni identitas suatu bangsa yang
memperjuangkan kemerdekaan, yang kemudian secara komunal disepakati bersama
untuk diproklamasikan sebagai nama Negara Indonesia tahun 1945.
Namun demikian, penggunaan istilah Indonesia ini sudah
digunakan jauh sebelum para aktivis pergerakan Indonesia. George Samuel Windsor
Earl (1813-1865) salah seorang ahli etnologi Inggris dan redaktur majalah
ilmiah JIAEA (Journal of The Indian Archipelago and Eastern Asia) pernah
menulis artikel berjudul “On the Leading Characteristics of the Papuan,
Australian and Malay-Polynesian Nations” yang terbit tahun 1850. Earl menegaskan
bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu
untuk memiliki nama yang unik, sebab penyebutan ‘Hindia’ kerap rancu dengan
‘India’. Dalam artikel tersebut Earl mengajukan dua pilihan nama yakni:
Indunesia (Kepulauan Hindia), atau Malayunesia (Kepulauan Melayu). Kata ‘nesia’
berasal dari ‘nesos’ dalam bahasa Yunani yang artinya ‘pulau’.
Senada dengan Earl, seorang pengelola sarjana hukum
lulusan Universitas Edinburgh dan berkebangsaan Skotlandia yang mengelola majalah
JIAEA yaitu James Richardson Logan (1819-1869), juga menulis dalam artikelnya berjudul
“The Ethnology of the Indian Archipelago”, bahwa istilah Indian
Archipelago (Kepulauan Hindia) terlalu panjang dan membingungkan karena rancu
dengan India. Hanya saja, ia lebih menyukai nama Indunesia. Logan kemudian
mengubah Indunesia menjadi Indonesia agar lebih enak diucapkan. Sejak itu Logan
konsisten menggunakan nama ‘Indonesia’ dalam tulisan-tulisan ilmiahnya sehingga
lambat laun istilah itu menyebar di kalangan ilmuwan etnologi dan geografi.
Selain dari dua orang tersebut, ada seorang guru besar
etnologi di Universitas Berlin bernama Adolf Bastian Adolf Bastian (1826-1905) yang
menulis buku berjudul “Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel”
sebanyak lima volume yang merupakan hasil penelitiannya selama di Indonesia
dari tahun 1864 hingga 1880. Nama Indonesia semakin populer di kalangan
akademisi Eropa hingga pernah muncul anggapan keliru bahwa Bastian-lah pencipta
nama ‘Indonesia’. Selain di luar negeri, istilah Indonesia mulai populer
semenjak adanya semangat untuk melepaskan diri dari cengkeraman penjajah Belanda
yang menamai kawasan tanah air ini dengan sebutan “Hindia-Belanda”.
Bagi para pejuang, isitlah Indonesia bukan sekedar
kata-kata tanpa makna. Muhammad Hatta pernah mengatakan bahwa nama Indonesia
menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan
dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap
orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya. Belanda
sendiri bersikukuh menggunakan nama Hindia-Belanda. Semua gerakan yang mengandung
nama ‘Indonesia’ dicurigai, bahkan pemerintah Belanda menolak mosi yang
diajukan anggota Volksraad (parlemen) agar nama ‘Indonesia’ diresmikan sebagai
pengganti ‘Hindia-Belanda’ pada tahun 1939. Dengan masuknya Jepang pada tanggal
8 Maret 1942, nama ‘Hindia Belanda’ pun hilang lenyap dari peredaran. Istilah
Indonesia berdaulat setelah proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan oleh
Sang Proklamator pada tanggal 17 Agustus 1945. Dan istilah Indonesia terus
hidup dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga saat ini.
Indonesia
Mau Kemana?
Dengan melihat dan memaknai api sejarah perjalanan
bangsa Indonesia, sudah semestinya generasi bangsa harus mengisi kemerdekaan
dengan program dan kegiatan untuk mewujudkan cita-cita negara sebagaimana
dituangkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah dan masyarakat
harus bahu membahu bekerjasama dan bergotong royong membangun masyarakat madani
agar tercipta kehidupan yang damai dan sejahtera. Bangsa ini harus kembali
kepada jati dirinya yang berbhineka tunggal ika dengan segala ornamen perbedaan
di dalamnya.
Konstitusi harus menjadi alat pemersatu bangsa.
Indonesia adalah negara Pancasila bukan negara agama. Semua harus bersendikan
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Nilai-nilai ideal tersebut harus terinternalisasi dan teraktualisasi dalam
perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara baik dalam dimensi kehidupan
ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan. Indonesia
harus menjadikan Tuhan YME sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Jika nilai-nilai tersebut tercederai dan dirusak oleh
oknum anak-anak negeri, maka yang terjadi adalah anti thesis dari cita-cita
ideal berdirinya negara ini. Jika masyarakat Indonesia tidak lagi menjadikan
Tuhan YME sebagai satu-satunya tuan yang dipatuhi dan ditaati segala kehendak
dan perintah-Nya, maka Dia akan marah dan melaknat negeri ini. Negeri ini akan
diberikan kutuk bukan mendapat berkat karena telah mendurhakai-Nya. Bangsa ini
tidak boleh hanya mengangungkan namanya sebatas dibibir tetapi perilakunya jauh
dari karakter kasih dan sayang-Nya.
Jikalau bangsa Indonesia yang telah sepakat menjadikan
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara tetapi aturan dan hukum-Nya tidak
berdasar pada nilai-nilai ketuhanan, maka Dia akan meninggalkan bangsa ini.
Indonesia akan mendapatkan azab dari segala penjuru peradaban. Bangsa ini akan
tertinggal dan mundur serta menjadi ekor bagi bangsa-bangsa lainnya di muka
bumi. Bangsa ini akan terus mengalami sakit kronis dan krisis multidimensi hingga
kepunahan dan ajal menjemputnya. Indonesia hanya akan tinggal nama dan sejarah
sebagaimana kerajaan atau kesultanan yang pernah berdiri tegak di atas tanah
air Nusantara ini.
Oleh karena itu, manusia-manusia Indonesia harus
kembali kepada fitrahnya. Tuhan YME pasti akan menyembuhkan sakit dan
terpuruknya kondisi bangsa asalkan semua tunduk patuh pada aturan dan sistem
hukum-Nya. Dia akan merubah kondiri kutuk menjadi berkat, gelap menjadi terang,
chaos menjadi cosmos dan jahiliyah menjadi madaniyah. Dia telah berjanji kepada
orang-orang yang beriman dan beramal saleh akan menjadikan diri dan bangsanya
menjadi bangsa unggulan di mata dunia. Dia akan mewujudkan cita-cita mercusuar
dunia bagi setiap bangsa yang mau dengan setia menjalankan segala perintah dan
menjauhi segala larangan-Nya.
Kebangkitan peradaban zaman baru pasti terjadi, baik
itu bersama Indonesia maupun dengan istilah lainnya. Jika nama Indonesia ini
tidak cocok bagi bangsa yang diapit dua samudra dan dua benua ini, maka tidaklah
menjadi masalah asalkan masyarakat hidup damai dan sejahtera. Jika mencermati
hasil kajian ilmiah dari seorang pakar metafisika dan doktor lulusan University
of Metaphysics International Los Angeles, California, Amerika Serikat, Arkand
Bodhana Zeshaprajna, B.Msc, B.Psy, M.Msc Ph. D, maka dirinya mengusulkan agar nama
Indonesia diganti menjadi Nusantara, karena Indonesia tidak mempunyai ideasi
dan energi positif bagi bangsa ini.
Menurut analisanya, nama Indonesia hanya memiliki
nilai synchronicity 0,5 dan coherence 0,2 sedangkan nama Nusantara
memiliki nilai 1,0 dan 0,8 untuk kedua parameter tersebut (synchronicity
adalah parameter untuk mengukur kemampuan melihat dan memanfaatkan kesempatan,
sedangkan coherence adalah parameter yang mengukur tingkat kemampuan dalam
menguasai suatu bidang). Menurutnya lagi, negara-negara maju memiliki nilai
yang bagus untuk kedua hal tersebut. Arkand menjelaskan, Indonesia ibarat anak
kecil yang selalu sakit-sakitan, sehingga perlu ganti nama. Pergantian nama ini
sebetulnya sangat ditakuti oleh banyak negara maju dan negara tetangga, karena
Nusantara memikiki soul yang kuat dan menumbuhkan semangat kebangsaan
seluruh rakat Indonesia.
Istilah atau nama ‘Nusantara’ sendiri sudah tidak
asing bagi masyarakat di bumi khatulistiwa ini. Nusantara pernah diusulkan
sebagai nama negara pengganti Hindia-Belanda oleh Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (Dr. Setiabudi) atau
cucu dari adik Multatuli alias Eduard Douwes Dekker pada tahun 1920-an. Istilah
Nusantara ini diambil dari Kitab Pararaton atau Negarakertagama pada zaman Majapahit, dengan dua
suku kata yaitu “Nusa dan “Antara” atau kepulauan di antara dua benua dan dua samudera. Sebutan
lain dari tanah air dari Papua hingga Sabang ini sering disebut sebagai Nan-hai
atau kepulauan Laut Selatan oleh China, Dwipantara atau Kepulauan Tanah Seberang oleh India, dan Jaza’ir
al-Jawi atau Kepulauan Jawa oleh orang-orang Arab. Nusantara sebagai lintasan peradaban dunia memiliki peran dan fungsi strategis untuk mengendalikan masa depan dunia.
Dengan demikian, tidaklah berlebihan jikalau nama
negara Indonesia harus berubah menjadi Nusantara atau lainnya. Hal utama yang
menjadi landasan adalah bahwa nama tersebut merupakan hasil konsensus bersama
serta memiliki cita-cita komunal serta aspek psikologis, etnologis,
antropologis maupun spirit persatuan yang mengakar dari jati diri bangsa. Lihat
saja berapa banyak negara-negara di dunia ini yang telah merubah nama negaranya
sehingga negara barunya menjadi bangsa yang lebih unggul dan maju ke depan.
Tegoklah negara tetangga yang berevolusi dengan nama baru seperti Siam atau
Muangthai menjadi Thailand, Burma menjadi Myanmar, Timor Timur menjadi Timor
Leste, Yugoslavia menjadi Slovenia, Kroasia dan Serbia Montenegro, bahkan yang
terbaru ini negara China berganti nama menjadi Tiongkok.
Perubahan nama-nama negara ini mampu merubah
situasi dan kondisi di internal dalam negerinya yang semakin membaik serta
mampu bersaing secara global di percaturan dunia eksternal. Semoga Indonesia
bisa mencontohnya, berubah dan berevolusi menjadi lebih baik dan benar, apapun
nama dan bentuk negaranya, asalkan sanggup tunduk patuh dan setia menjalankan
prinsip, sistem dan hukum dari penciptanya, sebagaimana dasar negaranya
Ketuhanan Yang Maha Esa. Semoga bangsa ini segera berjalan menggelinding kepada
apa yang menjadi arah dan tujuan dari keberadaan diri dan negaranya. Imposible
is Nothing, from nothing to something, from yero to hero.