Rabu, 29 Maret 2017

Indonesia, Dari Mana Mau Kemana?





Indonesia Dari Masa Ke Masa
Indonesia, sebuah frasa yang selalu disandingkan dengan berbagai macam bentuk Negara yang pernah lahir di tanah air Nusantara. Ya, memang negara Indonesia ini pernah mempunyai bentuk pemerintahan yang berbeda-beda pada zamannya masing-masing. Kehadiran Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekarang ini tidak terlepas dari bentuk negara Indonesia pada masa sebelumnya. NKRI baru eksis mulai tahun 1950-hingga sekarang ini, dimana sebelum itu Indonesia telah memiliki bentuk negara dan undang-undang dasar yang bervariasi sesuai dengan kehendak sang tuan atau bidan yang melahirkannya.
            NKRI hari ini adalah salah satu bentuk negara baru dari serangkaian perjalanan bangunan organisasi politik kekuasaan yang bernama Indonesia. NKRI pada masa Soekarno tahun 1950 hingga masa munculnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah negara dengan Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 (UUDS 1950). Sementara itu, NKRI pada masa orde lama, orde baru hingga orde reformasi ini, negara ini menggunakan UUD 1945 yang telah diamandemen sebanyak empat kali. Sebuah negara dengan akar tunggang atau konstitusi yang telah dirajut berulang kali sesuai dengan kepentingan kemajuan zaman maupun kebutuhan segelincir elit yang mengatasnamakan cinta negeri ini.
            Indonesia memang menjadi kata yang manis untuk selalu dinisbatkan pada setiap kali perubahan mendasar dari republik ini. Sebelum adanya NKRI, istilah Indonesia terlebih dahulu disandarkan pada bentuk Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Negara Republik Indonesia atau NRI (1945-1949) berdiri atas inisiasi atau formatur bidan kelahiran dari Dokuritsu Juni Chosakai, sebuah Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia yang dibentuk Jepang. NRI menggunakan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusinya. Eksistensi Negara Republik Indonesia tidak berlangsung lama, karena belum setahun negara ini berdiri sudah harus menghadapi ageresi militer Belanda di beberapa wilayah Indonesia yang ingin merebut kembali kepangkuannya.
            Serangan ageresi militer Belanda I mengasilkan perjanjian Linggarjati (1946), dimana luas wilayah kedaulatan Republik Indonesia hanya terdiri atas Jawa, Sumatera dan Madura. Sementara itu, ageresi militer Belanda II yang menyerang pusat kekuasaan Republik Indonesia di Yogyakarta, berakibat terjadinya kekalahan Indonesia dan penangkapan Soekarno yang kemudian dibuang ke Muntog Bangka Belitung. Agresi militer II ini menghasilkan perjanjian Renville (1949) dimana Belanda hanya mengakui wilayah kedaulatan Indonesia meliputi 5 karisidenan di Yogyakarta. Pasca tragedi tersebut, Negara Republik Indonesia kembali mendapati perubahan bentuk negara di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda, yaitu Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dibentuk dan dideklarasikan melalui Konferensi Meja Bundar di Den Hag Belanda.
            Republik Indonesia Serikat atau RIS (1949-1950) dibentuk dengan konsep negara federal yang terbagi atas 15 negara bagian. Konstitusi negara ini menggunakan Undang-Undang RIS tahun 1950. Setahun berjalan dengan konsep negara federal, Indonesia sadar sedang dijadikan boneka oleh Belanda dan aliansi Barat. Terkait dengan meningkatnya dukungan dari komunis di Timur dan Rusia tahun 1950, maka Indonesia berani menyatakan diri keluar dari konsep negara federal Republik Indonesia Serikat bentukan Belanda. Indonesia melepaskan diri dari RIS dan membentuk organisasi politik kekuasaan baru bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
            NKRI tahun 1950 masih bersifat darurat, sehingga Undang-Undang Dasar yang digunakan adalah UUD Sementara. Pemerintahan saat itu langsung melakukan pemilu untuk memilih badan konstituante yang bertugas menyusun undang-undang baru. Namun demikian, setelah bersidang kurang lebih sembilan tahun, Dewan Konstituante gagal merumuskan Undang-Undang Dasar yang baru. Pada saat itu, Soekarno langsung mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang pada intinya berisi untuk membubarkan dewan konstituante dan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Mulai saat itulah, Soekarno menjalankan NKRI dengan sistem demokrasi terpimpin atau orde lama selama kurang lebih 10 tahun sampai 1965. Kemudian orde baru mengisi NKRI dengan kepemimpinan diktator yang berkuasa selama kurang lebih 32 tahun. Hingga sekarang ini, NKRI telah diisi dengan berbagai macam sistem demokrasi baik demokrasi liberal ataupun lainnya selama beberapa periode pergantian Presiden yang dipilih secara langsung ini. Indonesia telah keluar dari jalur atau khitahnya sebagai bangsa yang memiliki ideologi yang tidak condong ke barat maupun ke timur.
           
Dari mana asal Indonesia?
Itulah sejarah kehidupan Indonesia. Apapun bentuk negaranya istilah Indonesia selalu terpatri dan tersemat dalam bentuk negara tersebut. Tentu saja, nama atau istilah Indonesia tidak ada dengan sendirinya. Nama itu pasti merupakan hasil kreasi atau pengungkapan oleh seseorang atau sekelompok manusia yang menghendakinya. Keberadaannya pasti terikat dengan waktu, karena tidak mungkin Indonesia itu ada semenjak tanah dan air itu ada. Pada zaman dahulu pasti tidak mengenal Indonesia, karena dalam catatan sejarah yang ada adalah nama-nama kerajaan berbasis Hindu, Budha maupun Kerajaan Islam yang beraneka ragam jenisnya. Dulu di bumi pertiwi ini dikenal dengan kejayaannya yaitu Sriwijaya dan Majapahit ratusan tahun silam, yang kini hanya tinggal legenda.
Jika ditelurusi dalam sejarah, istilah atau nama Indonesia baru terkenal dan digunakan oleh publik masyarakat Indonesia sekitar tahun 1928. Pada saat itu, kaum pemuda pernah mengikatkan diri pada sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Para pemuda saat itu bersumpah untuk bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu yaitu bahasa Indonesia. Istilah Indonesia ini juga dipopulerkan oleh Suwardi Suryaningrat yang lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara, beliau adalah anak bangsa yang pertama kali menggunakan nama ‘Indonesia’. Sewaktu dibuang ke Belanda tahun 1913, ia mendirikan biro pers dengan nama Indonesische Pers-Bureau. Sejak itu nama ‘Indonesia’ digunakan oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air hingga nama itu memiliki makna politis yakni identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan, yang kemudian secara komunal disepakati bersama untuk diproklamasikan sebagai nama Negara Indonesia tahun 1945.
Namun demikian, penggunaan istilah Indonesia ini sudah digunakan jauh sebelum para aktivis pergerakan Indonesia. George Samuel Windsor Earl (1813-1865) salah seorang ahli etnologi Inggris dan redaktur majalah ilmiah JIAEA (Journal of The Indian Archipelago and Eastern Asia) pernah menulis artikel berjudul “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations” yang terbit tahun 1850. Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama yang unik, sebab penyebutan ‘Hindia’ kerap rancu dengan ‘India’. Dalam artikel tersebut Earl mengajukan dua pilihan nama yakni: Indunesia (Kepulauan Hindia), atau Malayunesia (Kepulauan Melayu). Kata ‘nesia’ berasal dari ‘nesos’ dalam bahasa Yunani yang artinya ‘pulau’.
Senada dengan Earl, seorang pengelola sarjana hukum lulusan Universitas Edinburgh dan berkebangsaan Skotlandia yang mengelola majalah JIAEA yaitu James Richardson Logan (1819-1869), juga menulis dalam artikelnya berjudul “The Ethnology of the Indian Archipelago”, bahwa istilah Indian Archipelago (Kepulauan Hindia) terlalu panjang dan membingungkan karena rancu dengan India. Hanya saja, ia lebih menyukai nama Indunesia. Logan kemudian mengubah Indunesia menjadi Indonesia agar lebih enak diucapkan. Sejak itu Logan konsisten menggunakan nama ‘Indonesia’ dalam tulisan-tulisan ilmiahnya sehingga lambat laun istilah itu menyebar di kalangan ilmuwan etnologi dan geografi.
Selain dari dua orang tersebut, ada seorang guru besar etnologi di Universitas Berlin bernama Adolf Bastian Adolf Bastian (1826-1905) yang menulis buku berjudul “Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel” sebanyak lima volume yang merupakan hasil penelitiannya selama di Indonesia dari tahun 1864 hingga 1880. Nama Indonesia semakin populer di kalangan akademisi Eropa hingga pernah muncul anggapan keliru bahwa Bastian-lah pencipta nama ‘Indonesia’. Selain di luar negeri, istilah Indonesia mulai populer semenjak adanya semangat untuk melepaskan diri dari cengkeraman penjajah Belanda yang menamai kawasan tanah air ini dengan sebutan “Hindia-Belanda”.
Bagi para pejuang, isitlah Indonesia bukan sekedar kata-kata tanpa makna. Muhammad Hatta pernah mengatakan bahwa nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya. Belanda sendiri bersikukuh menggunakan nama Hindia-Belanda. Semua gerakan yang mengandung nama ‘Indonesia’ dicurigai, bahkan pemerintah Belanda menolak mosi yang diajukan anggota Volksraad (parlemen) agar nama ‘Indonesia’ diresmikan sebagai pengganti ‘Hindia-Belanda’ pada tahun 1939. Dengan masuknya Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, nama ‘Hindia Belanda’ pun hilang lenyap dari peredaran. Istilah Indonesia berdaulat setelah proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Sang Proklamator pada tanggal 17 Agustus 1945. Dan istilah Indonesia terus hidup dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga saat ini.

Indonesia Mau Kemana?
Dengan melihat dan memaknai api sejarah perjalanan bangsa Indonesia, sudah semestinya generasi bangsa harus mengisi kemerdekaan dengan program dan kegiatan untuk mewujudkan cita-cita negara sebagaimana dituangkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah dan masyarakat harus bahu membahu bekerjasama dan bergotong royong membangun masyarakat madani agar tercipta kehidupan yang damai dan sejahtera. Bangsa ini harus kembali kepada jati dirinya yang berbhineka tunggal ika dengan segala ornamen perbedaan di dalamnya.
Konstitusi harus menjadi alat pemersatu bangsa. Indonesia adalah negara Pancasila bukan negara agama. Semua harus bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai ideal tersebut harus terinternalisasi dan teraktualisasi dalam perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara baik dalam dimensi kehidupan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan. Indonesia harus menjadikan Tuhan YME sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Jika nilai-nilai tersebut tercederai dan dirusak oleh oknum anak-anak negeri, maka yang terjadi adalah anti thesis dari cita-cita ideal berdirinya negara ini. Jika masyarakat Indonesia tidak lagi menjadikan Tuhan YME sebagai satu-satunya tuan yang dipatuhi dan ditaati segala kehendak dan perintah-Nya, maka Dia akan marah dan melaknat negeri ini. Negeri ini akan diberikan kutuk bukan mendapat berkat karena telah mendurhakai-Nya. Bangsa ini tidak boleh hanya mengangungkan namanya sebatas dibibir tetapi perilakunya jauh dari karakter kasih dan sayang-Nya.
Jikalau bangsa Indonesia yang telah sepakat menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara tetapi aturan dan hukum-Nya tidak berdasar pada nilai-nilai ketuhanan, maka Dia akan meninggalkan bangsa ini. Indonesia akan mendapatkan azab dari segala penjuru peradaban. Bangsa ini akan tertinggal dan mundur serta menjadi ekor bagi bangsa-bangsa lainnya di muka bumi. Bangsa ini akan terus mengalami sakit kronis dan krisis multidimensi hingga kepunahan dan ajal menjemputnya. Indonesia hanya akan tinggal nama dan sejarah sebagaimana kerajaan atau kesultanan yang pernah berdiri tegak di atas tanah air Nusantara ini.
Oleh karena itu, manusia-manusia Indonesia harus kembali kepada fitrahnya. Tuhan YME pasti akan menyembuhkan sakit dan terpuruknya kondisi bangsa asalkan semua tunduk patuh pada aturan dan sistem hukum-Nya. Dia akan merubah kondiri kutuk menjadi berkat, gelap menjadi terang, chaos menjadi cosmos dan jahiliyah menjadi madaniyah. Dia telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh akan menjadikan diri dan bangsanya menjadi bangsa unggulan di mata dunia. Dia akan mewujudkan cita-cita mercusuar dunia bagi setiap bangsa yang mau dengan setia menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Kebangkitan peradaban zaman baru pasti terjadi, baik itu bersama Indonesia maupun dengan istilah lainnya. Jika nama Indonesia ini tidak cocok bagi bangsa yang diapit dua samudra dan dua benua ini, maka tidaklah menjadi masalah asalkan masyarakat hidup damai dan sejahtera. Jika mencermati hasil kajian ilmiah dari seorang pakar metafisika dan doktor lulusan University of Metaphysics International Los Angeles, California, Amerika Serikat, Arkand Bodhana Zeshaprajna, B.Msc, B.Psy, M.Msc Ph. D, maka dirinya mengusulkan agar nama Indonesia diganti menjadi Nusantara, karena Indonesia tidak mempunyai ideasi dan energi positif bagi bangsa ini.
Menurut analisanya, nama Indonesia hanya memiliki nilai synchronicity 0,5 dan coherence 0,2 sedangkan nama Nusantara memiliki nilai 1,0 dan 0,8 untuk kedua parameter tersebut (synchronicity adalah parameter untuk mengukur kemampuan melihat dan memanfaatkan kesempatan, sedangkan coherence adalah parameter yang mengukur tingkat kemampuan dalam menguasai suatu bidang). Menurutnya lagi, negara-negara maju memiliki nilai yang bagus untuk kedua hal tersebut. Arkand menjelaskan, Indonesia ibarat anak kecil yang selalu sakit-sakitan, sehingga perlu ganti nama. Pergantian nama ini sebetulnya sangat ditakuti oleh banyak negara maju dan negara tetangga, karena Nusantara memikiki soul yang kuat dan menumbuhkan semangat kebangsaan seluruh rakat Indonesia.   
Istilah atau nama ‘Nusantara’ sendiri sudah tidak asing bagi masyarakat di bumi khatulistiwa ini. Nusantara pernah diusulkan sebagai nama negara pengganti Hindia-Belanda oleh Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (Dr. Setiabudi) atau cucu dari adik Multatuli alias Eduard Douwes Dekker pada tahun 1920-an. Istilah Nusantara ini diambil dari Kitab Pararaton atau Negarakertagama pada zaman Majapahit, dengan dua suku kata yaitu “Nusa dan “Antara” atau kepulauan di antara dua benua dan dua samudera. Sebutan lain dari tanah air dari Papua hingga Sabang ini sering disebut sebagai Nan-hai atau kepulauan Laut Selatan oleh China, Dwipantara atau Kepulauan Tanah Seberang oleh India, dan Jaza’ir al-Jawi atau Kepulauan Jawa oleh orang-orang Arab. Nusantara sebagai lintasan peradaban dunia memiliki peran dan fungsi strategis untuk mengendalikan masa depan dunia.
Dengan demikian, tidaklah berlebihan jikalau nama negara Indonesia harus berubah menjadi Nusantara atau lainnya. Hal utama yang menjadi landasan adalah bahwa nama tersebut merupakan hasil konsensus bersama serta memiliki cita-cita komunal serta aspek psikologis, etnologis, antropologis maupun spirit persatuan yang mengakar dari jati diri bangsa. Lihat saja berapa banyak negara-negara di dunia ini yang telah merubah nama negaranya sehingga negara barunya menjadi bangsa yang lebih unggul dan maju ke depan. Tegoklah negara tetangga yang berevolusi dengan nama baru seperti Siam atau Muangthai menjadi Thailand, Burma menjadi Myanmar, Timor Timur menjadi Timor Leste, Yugoslavia menjadi Slovenia, Kroasia dan Serbia Montenegro, bahkan yang terbaru ini negara China berganti nama menjadi Tiongkok.
            Perubahan nama-nama negara ini mampu merubah situasi dan kondisi di internal dalam negerinya yang semakin membaik serta mampu bersaing secara global di percaturan dunia eksternal. Semoga Indonesia bisa mencontohnya, berubah dan berevolusi menjadi lebih baik dan benar, apapun nama dan bentuk negaranya, asalkan sanggup tunduk patuh dan setia menjalankan prinsip, sistem dan hukum dari penciptanya, sebagaimana dasar negaranya Ketuhanan Yang Maha Esa. Semoga bangsa ini segera berjalan menggelinding kepada apa yang menjadi arah dan tujuan dari keberadaan diri dan negaranya. Imposible is Nothing, from nothing to something, from yero to hero.

1 komentar: