Selasa, 19 September 2017

Setiap Yang Hidup Pasti Mati




Setiap Yang Hidup Pasti Mati
(Keteladanan Pohon Cabai)

Awal Kehidupannya
            Pohon cabai ini penulis cabut pada hari Sabtu tanggal 16 September 2017 pukul 08.30 WIB. Ia telah layu tak berdaya untuk berdiri di tanah tempat singgahnya. Ia tersandar dengan bambu dan ikat tali yang menjeratnya. Ia tak lagi sumringah tetapi sudah menua dan uzur dimakan usia. Ia tak sanggup lagi berbuah dari pangkal dahan tanamannya.
            Penulis bergegas menegakkan batang tubuhnya agar berdiri tegak. Tetapi apalah daya dirinya tetap kembali bersandar pada sandarannya. Ia sudah lelah dan menyerah. Ia tidak lagi produktif seperti biasanya. Banyak penyakit dan virus menyerangnya. Tak tega dengan situasi dan kondisinya, akhirnya ia mati dicabut dari tanah airnya.
  
Masa Pertumbuhannya
            Tanaman cabai ini ditabur kurang lebih pada bulan Juni tahun 2016. Awalnya ia hanyalah sebuah bulir kecil hitam tidak lebih dari 5 gram. Ia kemudian disemai di dalam tanah dan memulai masa-masa hidupnya dengan kemunculan tunas pertamanya. Benih ini mampu melawan daya desakan tanah dan mencari jalan keluar sehingga bisa mendapatkan sinar matahari untuk fotosintesis. Ia terus bergeliat sepanjang waktu dan semakin menampilkan pertumbuhan perkembangannya.
Kesehariannya ia tumbuh berkembang dengan makanan utama air dan pupuk yang diberikan oleh penanamnya. Tunas itu kemudian tumbuh mengeluarkan batang dan dedaunan. Semakin hari semakin membasar akar, batang dan daunnya. Awalnya hanya beberapa dahan dan daun tetapi setelah beberapa hari berikutnya sudah tidak terhitung jumlah daun hijaunya. Tanaman cabai ini terus tegap menjulang melawan angin dan terpaan penyakit lainnya sehingga bisa berdiri kokoh pada tempatnya.

Masa Panen dan Kebermanfaatannya
            Pada kisaran bulan Desember 2016 (enam bulan pasca penanaman), tanaman cabai ini sudah setinggi anak-anak. Ia gagah perkasa dan mulai mengeluarkan buah cabainya. Ia mulai menampakkan karya utamanya berupa bulir-bulir cabai yang menguning. Pamadangan ini sangat menyenangkan bagi penulis yang menanamnya. Hari demi hari volume dan diameter buah cabai semakin membesar dan berubah warnanya.
            Pada saat itu juga, tanaman cabai ini sedang dan akan terus memberikan kebermanfaatan universal bagi penanam atau makhluk lainnya. Buah cabai yang sudah besar dan matang dapat dipanen untuk dinikmati oleh penanamnya. Tidak hanya itu, cabai ini juga diberikan kepada orang lain yang menginginkannya. Ia berhasil dalam masa hidupnya karena bisa berbuah untuk kepentingan di luar dirinya.
            Pohon cabai ini rela berkorban saat buah cabainya dipetik oleh penanamnya. Ia mungkin merasakan sakit karena bagian tubuhnya diambil dan dicabut oleh makhluk lainnya. Ia pasrah dan berserah diri penanamnya mengambil hak dari buah cabainya. Ia ikhlas berkarya dan berbuah untuk dinikmati oleh manusia. Ia bersyukur dapat melayani manusia karena itulah yang menjadi tugas pokoknya diciptakan oleh Tuan Semesta Alam menservis umat manusia. Rasa pedasnya telah menjadi nilai kegunaan dan kebermanfaatan bagi makhluk lainnya. Ia terus berbuah ratusan buah cabai. Ia mencapai puncak produksi dengan jumlah cabai yang tidak terhitung lagi.
Ia tetap berusaha maksimal memberikan karya terbaik pada masa muda atau dewasanya. Namun demikian, seiring dengan waktu dan bertambahnya usia cabai maka produktivitasnya mulai menurun. Ia tidak sanggup lagi berbuah sebagaimana masa-masa sebelumnya. Ia termakan oleh waktu dan tak sanggup lagi berbuah dan memberikan manfaat bagi sekelilingnya. Pohon ini sudah sampai kepada ajalnya.

Masa Kematian Baktinya
            Akhirnya, pada bulan Septermber tahun 2017 atau 15 bulan masa hidupnya (457 hari) dirinya harus dicabut dari tanahnya. Pohon cabai ini mati setelah hampir satu setengah tahun hidup menemani penulis dalam kesehariannya. Ia telah banyak berjasa memberikan “rasa pedas” kepada penulis sebagai penanamnya. Ia telah membuktikan bahwa dirinya sanggup berkorban atas segala sesuatu yang dimiliki kepada tuannya. Ia rela mati pasca berhasil dan sukses memberikan kegembiraan kepada penanamnya.
            Ia telah meninggalkan batang dan tubuhnya yang telah tercabut dari akarnya. Akan tetapi benih dan bijinya tetap abadi karena telah disemai menjadi bibit-bibit baru hasil dari pembuahan cabai yang diambil untuk benih generasinya. Ia tidak hidup sia-sia karena telah mengabdi dan mencurahkan hasil karya dirinya untuk makhluk hidup yang lainnya. Kematiannya pun tidak sia-sia karena sisa-sisa batang dan daunnya menjadi pupuk bagi tanah yang ditinggalkannya.

Nilai Pelajaran Tentangnya
            Itulah pohon sebagai makhluk hidup. Dari awal kehidupannya sampai kematiannya tidak pernah tidak bermanfaat bagi makhluk lainnya terutama bagi manusia. Ia telah berjuang hidup melawan ujian alam dan berhasil membaktikan dirinya dengan memberikan buah cabai sebagai karya yang bermanfaat bagi umat manusia. Ia tidak akan mati sebelum memberikan hasil buahnya. Karena dia hidup, maka sudah pasti tatkala waktunya tiba ajal akan menjemputnya. Ia menjadi terkesan karena berhasil memberikan dampak kegembiraan kepada penanamnya.
            Bagi manusia yang berfikir, tentu saja peristiwa ini menjadi pelajaran yang sangat berharga. Bahwa manusia tidak boleh kalah dengan makhluk lainnya dalam rangka memberikan nilai kegunaan dan kebermanfaatan bagi makhluk lainnya. Manusia harus sanggup berkorban dalam masa-masa hidupnya untuk kepentingan manusia lainya. Dirinya harus sanggup “dipetik” demi kepentingan, kegunaan dan kebermanfaatan misi kehidupan makhluk lainnya.
            Manusia seyogyanya mampu berkarya dan berbakti semasa diberikan ruang dan waktu serta kesempatan pada masa hidupnya. Perbedaan antar manusia hanya ditentukan oleh kegunaan dan kebatilan manusia tersebut kepada suatu kepentingan yang lebih besar. Setiap cipta, rasa dan karsa manusia akan memberikan dampak bagi kehidupan lainnya. Baik dan buruknya karya manusia pada masa hidupnya akan menetukan eksistensi dan esensi manusia pada masa kematiannya. Semua terikat dengan hukum-Nya, siapa yang menanam pasti memanen.
            Itulah hakikat Sang Tuan Raja Alam Semesta mencipta manusia. Dia ingin manusia menjadi potret diri-Nya yang menjadi eksponen memberikan nilai kegunaan dan kebermanfaatan bagi dirinya, sesamanya, makhluk lainnya, dan seluruh alam semesta. Setiap manusia diberikan talenta untuk dikembangkannya sehingga menjadi potensi universal untuk melayani dan berbagi kasih sayang kepada sesamanya. Manusia jangan sampai kalah dalam berbuat kasih sayang sebagaimana pohon cabai memberikan kasih dan sayangnya kepada manusia dalam masa-masa hidupnya. Jadilah manusia seperti Dia yang Maha Pengasih dan Penyayang bagi seluruh makhluk-Nya.
             

1 komentar:

  1. Perumpamaan yang jelas bung...
    selalu saya mengikuti karya bung.. dan adakalanya menjadi topik perkongsian kepada seluruh kenalan... Agar bersama2 menikmati perjalanan hidup yang panjang ini..

    BalasHapus