Dimensi Raga dan Jiwa Manusia
Kita adalah kata
ganti ketiga jamak dari himpunan manusia. Kita, kami, kamu dan aku adalah manusia yang hidup dalam
suatu dimensi kehidupan yang sama. Manusia adalah makhluk ciptaan Sang Maha
Kuasa yang memiliki dua sisi utama, yakni raga dan jiwa. Kita lahir ke
permukaan bumi dalam balutan raga fisik darah dan daging yang sempurna. Dia
menganugerahkan intrumen terlengkap pada diri manusia dari panca indera sampai
akal pikiran yang menjadi pembeda dari makhluk lainnya. Tidak sebatas itu, Dia
juga memberikan dimensi kehidupan jiwa pada setiap insan manusia.
Manusia
lahir, tumbuh, berkembang, secara natural berdasarkan kebutuhan biologisnya.
Raga manusia selalu bertambah besar dan panjang mengikuti perjalanan waktu
setiap masa hidupnya. Berat dan tinggi badan manusia tumbuh berkembang karena
suplay makanan fisik di dalam tubuhnya. Selain dari tumbuhnya badan atau raga,
setiap manusia juga akan mengalami perkembangan cara berfikir di dalam jiwa
sehingga menjadi manusia yang berpengetahuan dan berpengalaman. Endapan ilmu di
dalam jiwa ditentukan oleh daya serap akal pikirannya terhadap makanan otak
yang diperoleh dirinya. Raga dan jiwa sama-sama menagih kebutuhannya untuk
perkembangan keduanya. Tanpa itu, lahirnya manusia akan berakhir pada lubang
kuburan yang akan menimbun dirinya.
Untuk
itu, pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan raga harus berjalan simetris dan
paralel. Raga manusia tumbuh bersamaan dengan makanan dan lingkungan yang
membentuknya. Begitu juga dengan jiwa manusia, ia akan terbangun melalui
aktivitas moral dan perilaku yang membimbing manusia dari kecil hingga dewasa.
Konsekuensi logisnya, setiap insan manusia harus selalu memperhatikan makanan
fisik untuk menjamin kelangsungan raganya dan mengupayakan pembelajaran
keilmuan untuk menumbuh kembangkan jiwa di dalam dirinya.
Sinergi Fisik Material dan Mental Spiritual Manusia
Manusia
bersifat fisik material karena diciptakan dari materi. Kelengkapan seluruh
tubuhnya merupakan kombinasi tumbuh dan berkembangnya rumusan materi. Alhasil
karena dirinya bersifat material, maka sudah pasti untuk menjamin kehidupannya membutuhkan
sumber material. Sumber-sumber materi dapat diperoleh dari aktivitas makan dan
minum seperti karbohidrat, protein, vitamin, air, dan sumber lainnya. Sumber
materi makan fisik ini akan menjamin kehidupan manusia secara fisik. Oleh
karenanya, tidak ada manusia yang bisa bertahan hidup tanpa makanan fisik
material.
Manusia adalah makhluk yang mempunyai dimensi
mental spiritual. Kehidupan manusia tidak hanya sebatas pemenuhan kebutuhan
yang sifatnya material. Banyak juga manusia mati bukan karena kelaparan atau
kehausan, tetapi karena gejala mental spiritual yang tidak tumbuh berkembang
atau stres berkepanjangan, sehingga memutuskan bunuh diri sebagai pilihan.
Dengan kata lain, untuk bisa hidup secara normal membutuhkan asupan spiritual
sebagai energinya. Makanan spiritual ini bersifat teoritis dan konsepsi yang
bisa membangkitkan manusia guna mencapai spirit atau semangat untuk terus
menjalankan hidup dan kehidupan. Itulah manusia, butuh makanan dan kelimuan
agar selaras, serasi dan seimbang menjalani hidup zaman sekarang maupun masa
depan.
Fisik material
membutuhkan daya ungkit secara biologi dari makanan dan minuman yang
dikonsumsinya. Fisik manusia ini akan menopang tumbuhnya perkembangan dimensi
mental spiritual. Keduanya tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya.
Perkembangan mental spiritual juga sangat ditentukan oleh eksis tidaknya fisik
material seorang manusia. Pribadi-pribadi manusia yang berfisik material
tangguh dan sehat mempunyai potensi yang besar untuk menciptakan
manusia-manusia bermental spiritual yang tinggi. Walaupun demikian, itu belum
menjadi jaminan jikalau unsur-unsur makanan dan minuman secara materi maupun
spiritual tidak diatur dan dikendalikan dengan benar.
Otak dan Usus Pengubah Energi Manusia
Manusia
menjalankan aktivitas fisik material dan mental spiritual menggunakan instrumen
perangkat tubuhnya. Dua komponen vital manusia yang memiliki peranan vital dan
strategis untuk keberlangsungan jiwa raga adalah otak dan usus manusia. Jiwa
atau mental spritual membutuhkan asupan energi keilmuan yang diolah di dalam
mekanisme otak atau akal pikiran. Sementara untuk raga dan fisik material
membutuhkan kesempurnaan prosedur sistemik dalam pencernaan usus manusia guna menghasilkan
energi dari makanan darah dan daging. Jika keduanya bermasalah, maka dapat dipastikan
manusia akan tinggal menjadi sejarah. Jika salah satu yang bermasalah, misal
tidak berjalannya fungsi pencernaan maka manusia akan mati dan menderita secara
fisik. Lebih parah lagi jikalau yang eror adalah pikiran otak manusia, maka
dirinya akan menjadi orang gila bahkan orang jahat yang merusak peradaban umat
manusia.
Manusia
berfikir, berucap dan bertindak ditentukan oleh otak atau akal pikirannya. Seseorang
dikatakan pintar atau bodoh tergantung dengan kapasitas memori otak dan optimalisasi
rangkaian cara berfikirnya. Kemampuan berfikir sangat ditentukan oleh memori
keilmuan yang ada di dalam arsip pikirannya. Jika manusia tidak pernah belajar
atau “makan dan minum” tentang ilmu pengetahuan, maka di dalam otak tersebut
tidak ada arsip tentangnya, sehingga manusia tidak bisa mengetahui apapun kalau
ditanya tentangnya. Alhasil manusia tersebut dikatakan manusia bodoh karena tidak
tahu apa-apa pada saat ditanya.
Itulah esensi
manusia mati, walaupun dirinya hidup secara fisik tetapi mati secara ilmu
pengetahuan atau mental spiritual. Otak yang tidak pernah diberi asupan
pengetahuan akan menjadi otak yang tumpul, berkarat, dan tidak memiliki daya
kecerdasan baik secara intelektual, emosional maupun spiritual. Untuk itu, agar
menjadi manusia yang benar-benar hidup kuncinya adalah belajar dan belajar,
membaca dan membaca, menulis dan menulis, ataupun aktivitas lainnya yang dapat menambah
daya ingat pengetahuan dan pengalaman dalam diri pikiran manusia. Ingat, Tuhan
YME meningkatkan derajat manusia satu dengan lainnya karena ilmu dan
ketakwaannya. Berat jenis ilmu inilah yang membedakan antara Profesor dengan
tukang becak, karena cara hidup dan makan minumnya mereka sangat berbeda.
Itulah rumus dasar kecerdasan yang membedakan derajat manusia.
Selain dari
otak, ada satu komponon tubuh manusia yang harus dijaga, dirawat dan diatur
dengan bijaksana penggunannya, yakni usus manusia. Usus adalah mekanisme sistem
pencernaan manusia yang sangat vital. Jika otak memproses keilmuan dalam
pikiran, maka usus memproses makanan fisik di dalam sistem pencernaan. Usus
besar, usus kecil, usus dua belas jari dan lainnya sangat mirip dengan cara
kerja dendrit dan lapisan neurotransmiter dalam otak manusia. Keduanya
sama-sama mengolah, mengubah dan mentransformasikan sumber energi menjadi
energi yang mengidupkan. Olahan makanan yang diproses dari mulut, kerongkongan,
lambung dan usus diproses sedemikian rupa sehingga menghasilkan enzim, kalori
dan energi lainnya untuk membuat tubuh manusia tetap bisa bergerak, bernafas,
dan hidup normal.
Untuk itu,
pemilihan makanan sehat harus disesuikan dengan karakteristik kesehatan usus.
Jika manusia makan sembarang makanan, maka akan berakibat menurunnya fungsi
usus dan hilangnya optimalisasi penciptaan energi secara fisik. Makan dan
minumlah sesuai porsi dan aturan, hindari hal-hal destruktif yang dapat merusak
usus, serta biasakan menjaga kesehatan usus dengan terapi atau diet yang benar.
Semua penyakit kebanyakan bersumber dari perut. Usus di dalam perut sangat
rentan dan riskan jikalau tidak dijaga dengan makan dan minum yang sehat.
Kesadaran dan komitmen menjaga makanan akan menjamin kesehatan masa depan. Acuh
tak acuh terhadap minuman yang dialirkan ke dalam tubuh akan beresiko
berkurangnya jumlah harapan hidup di masa depan.
Dominasi Ilmu Melawan Hawa Nafsu Manusia
Oleh
karenanya, otak dan usus manusia harus dirawat dan dioptimalkan secara
berkelanjutan. Otak berfungsi untuk membangun hierarki konsep keilmuan yang
bermanfaat bagi kehidupan. Otak membutuhkan makanan yang bersifat nilai atau keilmuan
dari suatu ilmu pengetahuan. Ilmu yang telah dikonsumsi oleh neuro-transmiter
di dalam lapisan dendrit pikiran manusia akan tersimpan dalam memori dan
menghasilkan daya gerak dan daya hidup yang besar bagi kehidupan. Jika ilmu
yang direkam dan diinstal dalam pikiran adalah ilmu kebenaran universal, maka
manusia akan menjadi makhluk kebenaran yang bermanfaat bagi alam semesta raya.
Namun
demikian, jika di dalam diri manusia tidak diberikan makanan ilmu tetapi
condong kepada konsumsi unsur-unsur nafsu, maka manusia akan menjadi makhluk
yang buas dan merusakan peradaban. Manusia akan menjadi jelmaan hawa nafsu yang
destruktif dan manipulatif serta orientasi fisik material. Dominasi ilmu atau
nafsu di dalam pikiran manusia tergantung oleh kekuatan ilmu atau nafsu yang
mengendalikannya. Oleh sebab itu, manusia harus selalu belajar dan mengingat ilmu
agar bisa mengalahkan desakan dan jebakan hawa nafsu.
Terakhir,
untuk menjadi manusia paripurna yang berilmu dan terbebas dari kendali hawa
nafsu, maka setiap diri manusia harus benar-benar memanfaatkan dan
mengoptomalkan anugerah-Nya yaitu otak dan usus di dalamnya. Makan dan minumlah
ilmu kebenaran yang bersifat universal baik dalam dimensi spiritual, emosional
maupun intelektual sehingga akan tercipta kualitas jiwa manusia yang berisme
dan karakter Tuan Semesta Alam Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Tidak cukup
disitu, setiap insan harus memperhatikan makanan dan minuman yang dikonsumsi
oleh ususnya, sehingga tercetak raga manusia yang sehat, bugar dan tubah yang
perkasa.
Perpaduan kualitas
antara raga dan jiwa, fisik material dan mental spiritual, serta dominasi ilmu
atas hawa nafsu, pasti akan menciptakan manusia-manusia unggul di masa depan yang
akan menjadi wakil atau khalifah-Nya di muka bumi. Semua ini akan terjadi
manakala setiap diri berkomitmen dan konsisten untuk memulai dari sekarang,
dari yang terkecil, dan dari diri sendiri akan arti pentingnya “makan dan minum”
secara sehat dan seimbang dengan pola-menu “makanan langit” maupun “makanan
bumi” berdasarkan asas kebutuhan dan kesetimbangan. Makan dan minumlah sesuai
aturan dan dosis yang telah ditetapkan sehingga dapat menjamin keselamatan di
masa depan. Kita adalah apa yang kita makan, “We are what we eat, We are what we learn.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar