Kamis, 20 September 2018

BERDAYA KARENA USIA


BERDAYA KARENA USIA

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.
(QS. Al-Ashr [103]: 1-3)

Tengah malam dini hari, Kamis 20 September 2018, bertepatan dengan momentum bertambahnya usia “darah dan daging” ke-33 tahun, aku termenung dan teringat ajaran firman Allah yang menyengat qalbu.  Narasi surat yang berisi “pesan” dari Sang Maha Pencipta ini sangat menyentuh kesadaran paling dalam bagi setiap insan yang menghendaki diri pribadinya berkarakter Ilahi. Terlebih lagi, esensi ayat atau ilmu Allah ini sangat berkaitan dengan laju deret ukur hidup dan matinya manusia yang sangat ditentukan oleh masa atau waktu. Aku pun bersumpah demi masa atau waktu, bahwa semua kejadian peristiwa itu terikat oleh faktor waktu.

Segala sesuatu yang eksis di alam semesta ditentukan oleh dimensi ruang, massa dan waktu. Keberadaanku pada hari ini, bisa hidup dan bernafas hingga umur "sepertiga abad" karena variabel waktu. Dari waktu ini pula akan menentukan nilai atau citra diri manusia apakah menjadi pribadi yang rugi ataupun beruntung. Demi waktu, manusia berada dalam kerugian apabila tidak memanfaatkan waktu untuk mencari kebenaran ilmu sehingga menjadi orang beriman dan beramal saleh serta saling menasehati dalam kesabaran.

Demi masa atau waktu, derajat dan kualitas manusia ditentukan oleh kemampuan dirinya memanfaatkan waktu untuk berbuat sesuatu dengan benar sesuai dengan ilmu-Nya. Manusia akan berdaya dan berhasil guna apabila memperhatikan unsur waktu dalam melakukan sesuatu. Waktu adalah elemen yang tidak bisa dipisahkan dari keberadaan manusia sebagai makhluk yang terikat dengan kegunaan dirinya pada lingkungan personal, komunal, regional dan global. 

Semakin manusia dapat mengefisienkan dan mengoptimalkan waktu, maka manusia tersebut akan semakin berdaya dan bermanfaat bagi semesta raya. Dalam ilmu fisika, daya adalah kecepatan melakukan kerja. Daya sama dengan jumlah energi yang dihabiskan per satuan waktu, atau laju energi yang dihantarkan selama melakukan usaha dalam periode waktu tertentu. Semakin singkat waktu yang dibutuhkan untuk melakukan usaha, maka daya yang dikeluarkan semakin besar. Begitulah seharusnya dengan manusia, ia harus memiliki daya iman atau “Ruh” energi yang besar agar bisa melakukan usaha atau praktik amal saleh demi kebermanfaatan universal.

Setiap insan manusia mempunyai tugas sebagai khalifah-Nya atau mediator bagi Pencipta untuk berbuat kasih sayang “rahman dan rahim” kepada seluruh makhluknya. Tentu saja, manusia ini harus mempunyai “daya” dan “energi” yang cukup besar agar mampu mentransformasikan dan mendistribusikan kasih sayang-Nya kepada sesama umat manusia, tanpa melihat batas-batas atau sekat ras, suku, agama, negara bangsa dan lainnya. Berbuat baik dan benar adalah manifestasi dari semua ajaran kitab suci sebagai sumber energi-Nya, sebagaimana perintah untuk berbuat kebaikan di dalam surat Al-Qasash (28) ayat 77 berikut ini.

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Daya atau energi untuk “Berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu” merupakan kunci “extra power” dari kesadaran setiap orang beriman untuk menunjukkan eksistensinya sebagai wakil-Nya di muka bumi. Dia tidak pernah berbuat jahat kepada manusia melainkan manusia itu sendiri yang menzalimi dirinya. Allah tidak pernah pandang bulu atau pilih kasih dalam memberikan pelayanan kepada seluruh makluknya baik yang ada di langit maupun di bumi. Karakter inilah yang harus termanifestasi manunggal ke dalam jati diri seorang manusia. 

Tentu saja, untuk bisa berbuat baik dan benar seperti itu sudah pasti membutuhkan “perjuangan” dan “pengorbanan” baik harta, jiwa maupun raga. Itulah kenapa Dia selalu mengingatkan bahwa manusia yang paling rugi adalah manusia yang tidak memanfaatkan waktunya untuk memberikan peringatan dan saling menasehati dalam kesabaran. Ini adalah hukum kausalitas, setiap perjuangan membutuhkan pengorbanan, dan setiap perbuatan membutuhkan investasi jiwa raga yang menguras kesabaran dan keikhlasan.  

Itulah fungsi daya dan energi (Wahyu dan Ruh) yang akan menghasilkan usaha atau kerja nyata amal saleh bagi kemaslahatan umat manusia. Sudah seyogyanya, semakin manusia diberikan tambahan waktu dan umur panjang kehidupannya maka harus meningkatkan daya dorong dan ledakan energi spiritual dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai visi, misi dan tujuan penciptaan-Nya. Setiap diri harus menempatkan diri sesuai dengan peran skenario dari Sang Sutradara agar mendapatkan ridha-Nya. Semua itu membutuhkan daya, energi, ruh spiritual yang sangat ditentukan oleh alokasi waktu atau masa jatah hidup setiap diri masing-masing manusia.       

Perjalanan waktu jantung berdenyut manusia itu terbatas. Setiap yang berjiwa pasti mati. Ini sunnatullah yang pasti berlaku pada setiap insan manusia. Setiap pertambahan usia akan mengurangi jatah hidup manusia sesuai dengan lintas batasan waktu yang telah ditetapkan oleh-Nya. Hari ini aku bisa bernafas hingga umur ke-33 tahun, tetapi aku juga tidak tahu akan sampai kapan hidupku ini terus berlanjut. Oleh karenanya, diri ini hanya pasrah “tunduk-patuh” kepada Jalan Kebenaran yang akan menjagaku pada jalur komitmen “iman” dan konsisten “amal saleh”, sehingga di masa-masa sisa hidupku dan bertambahnya usia ini tetap berdaya serta bermanfaat bagi alam semesta. Salam Damai dan Sejahtera. 



 


Sabtu, 25 Agustus 2018

Studi Peradaban Negeri Jiran Malaysia


Hari Kamis (Agustus 2018), Penulis meninggalkan tanah air Indonesia menuju negeri tetangga Malaysia. Sore itu landasan pacu pesawat Terminal Internasional Soekarno Hatta menjadi titik luncur keberangkatan menuju lintasan langit menggunakan salah satu maskapai penerbangan Negeri Jiran Malaysia . Jarak tempuh kedua ibukota negara ini sekitar 1.143 km sehingga harus ditempuh dalam waktu kurang lebih 1 jam 50 menit dengan spesifikasi penerbangan di atas langit ketinggian 34.000 kaki (10.000 km) dan kecepatan rata-rata 600km/jam untuk sampai mendarat di Kuala Lumpur Airport Internasional. Pesawat pun melandas pada tengah malam Jumat dini hari waktu setempat.

Kakiku akhirnya menginjakkan tanah di negeri seberang dan minum dari air yang dikeluarkan oleh negeri nan jauh. Bumi dan air ternyata tetaplah walaupun berbeda negara bangsa sehingga tetap saja merasa asing di negeri orang. Akan tetapi karena adanya sahabat dan kerabat sehingga jarak bangsa-bangsa ini menjadi sirna, dan yang ada justru kedekatan dan keharmonisan tercipta sesama makhluk ciptaan Tuan Semesta Alam.

Pasca mendarat dari udara, perjalanan dilanjutkan menggunakan media tanah aspal kendaraan roda empat. Kecepatan media berkurang drastis dari kendaraan di atas langit berganti dengan mobil yang menyentuh bumi. Laju mobil berjalan lancar karena tol di negeri ini cukup lenggang dan tidak macet sehingga hanya membutuhkan waktu sekitar 45 menit untuk sampai kepada tempat merebahkan tubuh untuk istirahat.

Sel dan jaringan tubuh menjalani relaksasi di atas ranjang di salah satu bangunan bertingkat di negeri Jiran. Energi baru tercipta setelah hampir 3 jam memejamkan mata. Pagi hari terbangun dengan suasana baru di tempat baru yang terasa berbeda dengan keseharian di ibu kota negeri Jakarta. Sarapan pagi dengan menu spesial ala Negeri Selangor pun sudah tersaji untuk mengisi energi terbarukan, "Nasi Lemak Lauk Sotong".

Hari pertama penulis mengitari beberapa Bandar di Negeri Selangor. Tata kota dan model peradaban relatif sama dengan yang ada di tempat kelahiran. Bedanya adalah keramaian dan kesemrawutan kendaraan di Negeri itu lebih teratur karena volumenya tidak separah yang ada di Indonesia. Hal aneh dan berbeda dari yang lain adalah adanya motor di jalan tol, sesuatu yang tidak dijumpai di negeriku. Makan siang ala seafood tak lupa dirasakan dan setelah itu berpusing-pusing mencari perlengkapan olahraga untuk bermain badminton. Salah satu olahraga populer yang bisa membuat tubuh sehat, bugar dan media rekreasi bertemu dengan kerabat sahabat. Setelah selesai adu tangkas bermain shutlekock, maka kegiatan selanjutnya adalah tidur mengumpulkan tenaga untuk aktivitas berikutnya.
Hari Sabtu, perjalanan dilanjutkan ke daerah yang lebih jauh dari Bandar yang yakni di sebuah desa dekat bukit untuk menghadiri acara utama yaitu pesta pernikahan rekan sejawat. Tradisi dan nuansa pesta cukup berbeda dengan adat istiadat di negeri sendiri, terlebih lagi jenis dan ragam masakannya. Satu yang sama adalah makanan andalan, "kambing guling", rasanya yang universal. Di tempat inilah penulis menemani rekan yang melangsungkan pesta pernikahan lintas negara antar bangsa yang disatukan oleh ikatan cinta dan semangat hidup yang sama. Perjamuan yang cukup besar dihadiri oleh karib kerabat dari kedua mempelai untuk saling memperkenalkan kedua belah keluarga. 

Setelah agenda ini, kegiatan dilanjutkan dengan meeting-meeting untuk memantau pertumbuhan tanaman di kebun-kebun. Maklum, penulis juga berprofesi sebagai petani yang sedang merawat dan memonitor tumbuh kembang berbagai jenis tanaman yang ada di negeri Jiran. Penulis meeting bersama dengan para penggarap kebun untuk memastikan kelancaran irigasi pengairan, pemupukan, pembasmian hama, dan lainnya agar tanaman ini dapat tumbuh berkembang baik akarnya menghujam ke tanah, batangnya menjulang ke angkasa dan berbuah pada setiap musimnya. Tak lupa juga setelah itu, menu spesial makan malam dengan sate ayam Malaysia, sup kaki sapi dan durian Musang King yang super nikmat. Nostalgia dengan rekan-rekan semakin menambah kesatuan dan keterlibatan antar sesama dalam suasana yang santai penuh makna. Inilah yang dilakukan selama dua hari terakhir di Tanah Melayu.

Selesai itu, waktunya bagi penulis untuk berjalan-jalan ria berkeliling Kuala Lumpur pada hari Senin. Sengaja untuk menikmati transportasi publik, maka penulis keluar penginapan dengan berjalan kaki guna merasakan transportasi publik berbasis kereta api listrik yakni LRT (Light Rapid Transit) dan MRT (Mass Rapid Transit). Salah satu moda transportasi unggulan di sekitar Bandaraya ini cukup efektif untuk mengantarkan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya di dalam kota. Teknologi ramah lingkungan dan hemat energi listrik menjadi keunggulan dari transportasi jenis kereta api ini. Kami dapat menjangkau lokasi-lokasi strategis dengan harga yang murah dan kompetitif.
Lokasi pertama yang dikunjungi adalah Masjid Jamek. Salah satu peninggalan artefak sejarah ini menjadi simbol Islamisme di Negeri Malaysia. Di tempat itu banyak wisatawan lain dari penjuru dunia untuk mengetahui seluk beluk sejarah keberadaan masjid tersebut. Di dalamnya penulis juga mengamati berbagai jenis bahasa Kitab Suci Al-Quran dengan bahasa Arab, Inggris, Melayu, Jepang, Cina dan bahasa lainnya.
Tak sempurna ke Malaysia jika tidak berkunjung ke Menara Kembar Petronas. Disana penulis mencermati gedung kembar dan isi didalamnya sebagai suatu mahakarya besar dari sebuah bangsa. Walaupun demikian, isi di dalam supermarket lantai bawah tetap didominasi oleh produk-produk Barat, Eropa dan Amerika, sedikit sekali diprioritaskan kepada warga lokal. Kondisi ini hampir bersifat umum di beberapa negara karena memang kapitalisme akan menguasai pasar dimana saja.  Setelah dari menara kembar, penjelajahan dilanjutkan menuju Kuala Lumpur Tower.


Tempat strategis lainya yang dikunjungi setelah itu adalah Museum Negara. Disini banyak terdapat artefak dan bukti sejarah masuknya Islam melalui Malaka. Selain itu, kisah perjuangan Negeri-Negeri di Malaysia memerdekakan diri dari penjajahan hingga mencapai proklamasi kemerdekaan. Dasar dan falsafah negara tersaji dalam lima pasal yang dipamerkan dalam museum tersebut. Museum juga menyampaikan pesan Malaysia modern melalui karya dan budaya yang berjalan pada masa sekarang ini.

Tidak lupa, untuk mengakhiri petualangan perjalanan keliling Kuala Lumpur disempurnakan dengan mengunjungi Pasar Sentral Malaysia. Disini sedikit membeli oleh-oleh kenang-kenangan bagi keluarga dan sahabat. Barang-barang khusus karya seniman dipajang dan dijualbelikan sebagai buah tangan bagi para pengunjung. Setelah paripurna berkeliling pasar, maka penulis meninggalkan lokasi menuju tempat lainnya untuk metting selanjutnya.
Hari Senin berlalu dengan penuh warga dan pengalaman baru di negeri orang lain. Hari Selasa adalah hari terakhir bagi penulis untuk bercengkerama dengan rekan dan kawan sebelum berpamitan. Suasana kekeluargaan dan keharmonisan saling tergantung menjadi kunci utama persahabatan dan bisnis pertanian penggarap lahan. Cinta dan kasih sayang menjadi variabel pokok untuk mewujudkan kehidupan bersama yang penuh dengan asa, cita dan berkat alam semesta. 

Penulis pun menuju bandara untuk meninggalkan Bandaraya, Malaysia, yang telah memberikan endapan memori tak terlupakan. Maskapai penerbangan (MH0723) kembali memulangkan tubuhku kepada tanah airku yang selama ini menjadi tempat lahir, hidup dan menjalani setiap detak perjuangan mengabdi kepada penciptaku. Berjalanlah di muka bumi melihat bagaimana Allah berkuasa atas segala bangsa yang tunduk kepada-Nya maupun negeri yang mempersekutukan-Nya. Semua sedang menggenapi tradisi hukum ketetapannya.

Minggu, 04 Februari 2018

Anakku Objek Pengabdianku Kepada Pencipta-Ku



Anakku Objek Pengabdiaku Kepada Pencipta-Ku
Ulang Tahun Ke-3 Anakku


Eksistensi Dia dalam Mencipta Anakku
Tepat pada tanggal 4 Februari 2015, anakku Atmadeva Mikayla Hanifatara terlahir ke dunia. Dan kini di hari tanggal yang sama dengan tahun berbeda, 2018, ia sudah melintasi ruang dan waktu di alam nyata selama 3 tahun. Saat lahirnya kala itu, ia tanpa busana, tidak bisa apa-apa, bahkan berat badannya hanya 2500 gram dengan panjang 45 cm. Kini setelah 1080 hari kemudian, bentuk fisiknya sudah jauh tumbuh berkembang sempurna, dengan berat 11.000 gram dan tinggi 86 cm, atau telah terjadi pelipatgandaan pertumbuhan dari keduanya.

Sedikit kembali lebih jauh ke belakang, 9 bulan sebelum kelahirannya, profil dan dimensi anakku tidak pernah terpikirkan, tergambarkan, dan tidak visualisasikan sebagaimana di dunia sekarang ini. Ia baru mulai dirancang pasca aku dan istriku menikah pada 19 April 2014. Segumplal spermaku (nutfah) yang hina itu mulai menerabas mencari indung telur ovarium dari pasangan fitrahnya di dalam kantong rahim istriku. Keduanya bertemu dan menyatu menjadi ikatan sel gabungan kedua DNA pasangan dua sejoli. Sel ini terus membelah diri dan berkembang sesuai design karya ciptaan Sang Maha Pencipta sesuai rentetan perjalanan waktu. Tanda-tanda dirinya “ada” dan “hidup” ketika istriku tidak lagi haid keluar darah karena keberhasilan proses pembuahan sel di dalam rahimnya. 

Aku sendiri semakin mengakui keberadaan eksistensi keberadaan dari Dia yang Maha Pencipta segala sesuatu. Aku tidak pernah membentuk tangan, kaki dan segala perangkat tubuh anakku semasa di dalam kandungan ibunya. Aku hanya menjadi mediator, dipakai oleh Dia, dgn mengantarkan sperma ke dalam alat kelamin istriku. Setelah itu, diriku tidak pernah terlibat dalam penciptaan anak itu di dalam rahim ibunya, mulai dari janin hingga terjadinya kesempurnaan dan kelahiran jabang bayi itu. Inilah keterbatasan manusia, harus mengakui adanya Sang Pencipta, karena apapun yang terbentuk dan tercipta merupakan sebuah karya dari yang mencipta, tidak ada sesuatu terjadi tanpa ada yang mengkreasikannya. Sebagai contoh, sebuah ukiran atau patung Arca Borobudur bisa berbentuk seperti itu karena ada pemahatnya, batu biasa tanpa dipahat dan diukir tidak akan pernah bisa berubah bentuk sebegitu indahnya. Arca itu berbeda dari batu sebagai bahan dasarnya setelah dipahat oleh penciptanya.

Bayangkan saja, sperma dan ovarium yang hanya berbentuk gumpalan protein, hanya bisa dilihat isi didalamnya dengan jelas posturnya dengan Microskop, tanpa campur tangan manusia, dan aku juga tidak pernah membentuk (memahat atau mengukir) anakku di dalam perut ibunya, pada masa rentang waktu 9 bulan bisa berubah bentuk menjadi istimewa dengan segala instrumen kelengkapan struktur tubuhnya. Dari "tidak ada menjadi ada", dari "tidak berbentuk berubah menjadi kerangka tubuh yang sempurna", tentu saja ada sesuatu yang mencipta dan membentuk atau "memahatnya", dimana aku yakin yang melakukan semua itu adalah Tuan Semesta Alam, Allah, Sang Hyang Widi Wasa, Gusti Allah, atau Tuan Yang Maha Esa.

Peran Orangtua Mewakili-Nya Untuk Mendidikmu
Allah, Dia yang mencipta anakkku akhirnya mengeluarkannya melalui mulut rahim istriku ke alam nyata. Dia mengeluarkan anakku dalam kondisi tidak tahu apa-apa (tabularasa) dan hanya memberikan kesempurnaan tubuhnya disertai dengan instrumen pelangkap panca indera sebagai bekal hidupnya. Anakku terpisah dari plasenta ibunya dan tidak lagi hidup di kandungan melainkan di alam dunia. Ia mengalami fase baru pasca kelahirannya, tantangan baru, situasi baru yang membutuhkan adaptasi dan asupan energi demi melanjutkan kehidupannya.

Kini, setelah anakku terlahir dan berada di dunia, fungsi pembentukan atau "pemahatan" itu diembankan oleh-Nya kepadaku selaku orangtuanya. Anak akan menjadi Yahudi, Nasrani atau Islam, hitam, begitu sabda Muhammad Rasulullah yang terukir dalam lintasan hadistnya. Anak-anak akan menjadi pribadi dengan nuansa putih, kuning, merah, hijau dan lainnya tergantung orangtuanya Hal ini sangat benar, karena anak-anak akan menjadi mukmin-musyrik, muslim-kafir, berjalan di shiratal mustaqim-shiratal maghdub, sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh didikan atau celupan orangtuanya, selaku wakil-Nya di muka bumi. Tanggung jawab dan peran orangtua adalah mengatur, mendidik, mengayomi, melindungi, membesarkan anaknya menuju tujuan penciptaannya, menjadi manusia sesuai Potret Diri-Nya.

Fase kehidupan anak pada usia kanak-kanak sebagai anakku pada hari ini, merupakan fase paling menentukan dalam membangun dan mendidik karakter. Anakku sedang mengalami fase usia emas "golden age" perkembangan daya serap belajarnya. Usia emas ini, instrumen pokok manusia yaitu otak, diibaratkan seperti "spons". Otak akan menyerap apa saja yang ada di sekitarnya dan bersentuhan melalui panca inderanya. Otak akan menyimpan segala peristiwa penting dan berkesan hasil eksplorasi pengamatan alamiah yang dilakukannya. Ia sedang "mendownload" pesan, data dan informasi yang ada di luar dirinya "alam raya eksternal" untuk disimpan dalam arsip memori yang ada di Cerebrum, Cerebelum, dan Limbik sistem dari bagian struktur otaknya atau "alam raya internal" pikiran manusia. Ia akan memproses segala stimulus di lingkungannya kemudian memberikan respons atas apa yang dialaminya. Siklus belajar ini akan terus terjadi sepanjang hayat kehidupannya.

Oleh karenanya, aku sebagai orangtua harus membiasakan diri menampilkan sesuatu yang positif dan benar kepada dirinya. Cara belajar paling cepat dan efektif adalah mencontoh atau duplikasi atau uswah suri tauladan. Tidak heran jikalau hukum belajar ini diabadikan dalam kitab suci, "Sesungguhnya dalam diri Rasulullah itu terdapat suri tauladan bagimu bagi orang yang mengharap Rahmat atau ridha Allah". Prinsip keteladanan ini merupakan hukum belajar “quantum learning” dalam mendidik dan mengajar anak untuk mencapai tujuannya. Belajar dengan mencontoh merupakan proses terlengkap dan tercanggih dalam mengoptimalkan penglihatan, pendengaran dan pikiran setiap insan manusia. Hal ini selaras dengan karunia Allah agar manusia memfungsikan dengan baik instrumen mata, telinga dan qolbu yang akan dimintai pertanggungjawabannya.

Anak sebagai garis generasi orangtua membutuhkan kecerdasan untuk melanjutkan visi misi cita-cita orangtuanya. Anak harus mempunyai kecerdasan spiritual, emosional dan intelektual. Kecakapan dan kompetensi ketiganya memerlukan daya dan upaya serta proses belajar (learning by thingking, learning by doing dan learning to be) atau dalam bahasa Arabnya (yatlu alaihim ayatihi, yuzakihim, yualimu humul kitab wal hikmah) secara sistematis, berkesinambungan dan berkelanjutan semasa hidupnya. Metodologi tahapan atau tingkatan belajar ini merupakan jalan yang harus ditempuh oleh setiap insan manusia menuju keparipurnaan ciptaan-Nya. Tanpa itu, mustahil akan menjadi manusia sempurna sesuai tujuan penciptaannya.

Otak “ Qalbu” Sebagai Tempat Menanam Ilmu
Allah, Tuan Semesta Alam yang Maha Berilmu (Al-Ilm) tentu saja akan mengajarkan pendidikan ilmu kepada manusia melalui perantaraan para Utusan-Nya. Mutiara pengetahuan dan keilmuan “firman” ini akan ditransformasikan dari Juru Bicara-Nya kepada orangtua untuk mendidik generasi penerusnya. Kemudian orangtua inilah yang akan meneruskan dan mentransmisikan ilmu kepada anak-anaknya. Orang tua memainkan peran sebagai mediator Dia dalam mengader dan mencelup anak agar berkarakter seperti-Nya, "tahallaqu bi akhlak qilla", berakhlaklah kamu dengan akhlak Allah Yang Maha Esa. Orangtua juga harus mewakili Dia yang Maha Rahman dan Rahim dalam berbuat kasih dan sayang kepada anak-anaknya dalam kapasitas dirinya sebagai manusia.

Orangtua diberikan media atau lahan ibadah oleh Allah melalui anak-anaknya. Anak adalah objek pengabdian bagi orangtua dalam mengabdi kepada-Nya. Pikiran atau qalbu anak merupakan objek atau lahan subur yang diibaratkan seperti "tanah" yang harus diolah dan ditanami "benih" agar tumbuh menjadi pohon yang akan berbuah pada masa panennya. Pikiran anak akan ditanami "pohon yang baik" atau "pohon yang buruk" tergantung hasrat, motivasi dan pengawalan orangtuanya. Untuk itu, manusia harus berbuat kasih atau Rahman-Nya dengan memberikan asupan fisik material demi pertumbuhannya, dan selalu berbuat sayang atau Rahim-Nya dengan mengajarkan ilmu-Nya dalam setiap waktu perkembangannya. Inilah tugas mulia dari Dia kepada orangtua yang menjadi penggantinya pada saat anak masih kecil hingga dewasa.

Kini diusia anakku yang ketiga, kami selaku orangtua, akan berusaha keras dan maksimal untuk mematikan dirinya belajar sesuai dengan kehendak-Nya. Aku tidak mempunyai cita-cita lain kecuali mempersiapkan dirimu menjadi manusia yang beriman, selalu setia, tunduk patuh, berserah diri kepada-Nya. Kecerdasan ilahi atau mental spiritual aku prioritaskan atas dirimu di luar "pendidikan formal nan seremonial" untuk bangunan intelektualmu. Aku yakin semakin bertambah umurmu maka dirimu mempunyai cara belajar untuk mendapatkan kemampuan bakat dan minat seperti halnya kecerdasan spasial, musikal, interpersonal, intrapersonal, bahasa, matematika, naturalistik, dan lain sebagainnya sebagaimana terpetakan dalam belahan otak kanan dan kiri. 

Alam semesta akan selalu mengajarkanmu tentang kecerdasan itu, tetapi khusus kecerdasan wahyu atau Ruhul Qudus atau mental spiritual hanya akan diajarkan oleh firman dari orang berilmu yang ada di sekitarmu. Kecerdasan intlektual ini sangat mudah, bisa dicari dan dikembangkan saat usiamu kelak dewasa nanti, tetapi kini saat usiamu di era "keemasan", aku bertanggungjawab agar di dalam qalbu terpatri iman dan kebiasaan spiritual yang akan menuntunmu kepada keparipurnaan. Kelak ketika otakmu sudah bisa menyerap disiplin ilmu, maka aku akan mengajarkan yang demikian kepadamu. Kedua sumber ilmu ini, alam semesta dan firman Allah di dalam kitab-kitabnya yang disampaikan oleh Utusan-Nya, merupakan dua sumber ilmu yang akan membentuk dirimu menjadi manusia yang siap menjadi khalifah-Nya di muka bumi. Personifikasi dari kekuatan ruh pada alam (Mikail) dan wahyu di dalam Firman (Jibril) inilah yang harus selalu dirimu “download” dan “instalasikan” dalam lintasan neurotransmiter (sistem syaraf otak) menuju memori kesadaran untuk menjadi dasar tindakan atau perilaku “upload” demi kebermanfaatan universal.

Terakhir, selamat hari darah daging kepada anakku. Lintasan umurmu menjadi ingatan "early warning system'" bagiku untuk memastikan, mengontrol, dan mengawal tumbuh kembang tubuhmu dan muatan isi qalbumu. Semoga kelak saat kamu dewasa, diusia senjaku bahkan di akhir hayatku, dirimu akan memilih jalan hidup sebagaimana jalan hidup yang telah kupilih pada hari ini, Jalan Kebenaran Sejati, Jalan Shiratal Mustaqim, Jalan para Rasul Allah yang telah mendapatkan nikmat dari-Nya. Inilah tugas utamaku yang dimandatkan atau diamanahkan oleh Dia yang menciptakan aku dan dirimu, membesarkanmu, melindungimu, melayanimu, mendidikmu menjadi manusia paripurna sebagaimana yang dicontohkan dan diuswahkan manusia pilihan-Nya. Semoga Dia terus melindungi dan menolongku, istriku dan anak-anakku sampai akhir waktu dalam berjuang menuju tegaknya Kerajaan-Mu.