Jumat, 30 Desember 2016

Belajar “Rasa Hidup” dari “Rasa Cabai”



Belajar “Rasa Hidup” dari “Rasa Cabai”


            Hukum kehidupan menyatakan setiap yang menanam pasti memanen. Itulah frasa yang penulis buktikan dan alami melalui aktivitas eksplorasi sederhana dengan menanam tanaman cabai di pekarangan rumah. “Rasa Cabai Pedas” telah penulis cicipi dengan memetik buah cabai setelah menunggu ratusan hari pasca menanamnya. Rasa pedas yang tidak sekedar “pedas” karena ternyata banyak nilai tambah “added value” dari rumus-rumus kehidupan yang dapat diambil dari tumbuh kembangnya tanaman cabai. Sebuah pelajaran yang mencerahkan bagi keberlangsungan hidup dan kehidupan secara benar.
            Buah cabai tidak ada yang tiba-tiba ada, tetapi membutuhkan proses. Awal penulis menanam cabai diawali dari sebulir benih cabai yang beratnya tidak lebih dari 10 gram. Satu benih cabai pada waktu menanam dapat menghasilkan puluhan cabai atau ribuan gram di masing-masing ranting tanaman cabai pada masa memanen. Benih cabai tidak bisa serta merta tumbuh menjadi tanaman cabai, dirinya membutuhkan tanah dan air untuk bisa hidup berkembang menjadi sebuah tanaman cabai. Tanaman cabai harus dirawat, dipupuk, dibersihkan dari hama, diberikan tiang penyangga, dan perawatan lainnya. Itulah ilustrasi dan fakta konkrit dari 1 benih cabai menjadi tanaman cabai dan berbuah puluhan cabai yang terikat dengan ruang, masa dan waktu.
Begitu juga dengan kehidupan ini, setiap ide atau gagasan yang tidak terlihat akan menjadi sesuatu yang konkrit, bermakna dan bermanfaat apabila dikelola, dirawat, diperjuangkan berdasarkan ilmu. Pikiran yang bersifat abstrak dapat berubah wujud menjadi nyata apabila diusahakan dan diupayakan secara maksimal. Ide di dalam pikiran membutuhkan instrumen pendukung, waktu dan energi sehingga bergerak menuju kenyataan. Semua benda karya ciptaan manusia di alam raya ini merupakan hasil dari gambaran ide yang terlintas dalam pikirannya kemudian diproses pada alam kenyataan. Produk ide tersebut mampu memberikan daya kegunaan dan kebermanfaatan bagi manusia dan alam semesta.
Belajar dari hukum kausalitas di atas, maka “rasa kehidupan” seperti kedamaian, kesejahteraan, keadilan, kemakmuran dan lainnya bisa diupayakan dan diperjuangkan oleh komponen dan eksponen manusia pada radius komunitas bangsa. “Rasa pedas” tidak tiba-tiba bisa dinikmati, tetapi rasa dari cabai tersebut harus berproses dari benih, tumbuh kembang, melawan hama, dan akhirnya berbuah cabai. Tentu saja, rasa kedamaian dan kesejahteraan harus diawali dari keinginan bersama untuk mewujudkannya, lalu bersama-sama berproses dan berjuang tumbuh berkembang melawan hambatan maupun rintangan menuju terwujudnya “rasa kehidupan” tersebut. Dengan kata lain, tidak mungkin rasa atau cita-cita kedamaian, kesejahteraan dan keadilan akan tercapai tanpa adanya komunitas bangsa yang menyemai dan konsisten mengelolanya dengan benar.  
Rumusnya, tanaman cabai yang panen di kebun pekarangan rumah ini adalah tanaman yang baik karena akarnya menghujam, batangnya menjulang tinggi besar dan berbuah pada musimnya. Penulis pun juga menyaksikan ada beberapa tanaman cabai yang mati tidak kuat diterpa hama dan ujian alam sehingga tidak mampu berbuah dan tidak dapat dinikmati “rasa pedas”-nya. Benih itu mati terkubur dalam tanah. Sama halnya dengan “rasa hidup” kedamaian dan kesejahteraan, hanya akan bisa dinikmati apabila “tanaman bangsa” ini memiliki akar yang teguh dan batang yang kuat sehingga berbuah setiap musimnya.
Pertanyaannya, apakah para pembaca ini sudah merasakan “rasa hidup” seperti kedamaian, kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan di negeri ini? Hanya kita sendiri yang bisa merasakannya karena kita terlibat dalam sistem hidup bangsa yang gemah ripah loh jinawi ini. Silakan rasakan dengan jujur “rasa cabai” di bangsa ini, sehingga kita akan mampu melihat dengan jernih tumbuh kembang “tanaman negeri” ini. Tanaman yang baik akan menghasilkan buah yang baik dan tanaman yang buruk tidak akan pernah menghasilkan buah yang baik. Negeri yang baik tidak akan pernah menghasilkan situasi dan kondisi hidup dan kehidupan yang tidak baik.     



      

Kamis, 03 November 2016

Selalu Belajar Menuntut Ilmu


Ilmu adalah lentera cahaya penuntun manusia dalam menjalani hidup dan kehidupannya secara benar. Ibarat orang berjalan dalam kegelapan, maka sinar terang itu akan mengarahkan dan memberi petunjuk manusia agar tidak tersesat dan terperosok pada lembah kebinasaan. Ilmu itu seperti “panglima” yang bisa memerintah dan memandu manusia agar berjalan dan bertindak sesuai dengan kaidah kebenaran atau jalan yang lurus. Ilmu juga sering diilustrasikan sebagai sebuah “tongkat” yang menopang pijakan kaki manusia sekaligus penunjuk arah bagi jalannya orang buta. Bisa dibayangkan bagaimana hidup ini tanpa di dasari oleh ilmu, gelap gulita dan tak menentu. Begitulah eksistensi dan kebermanfaatan universal dari ilmu, sangat fundamental dan menentukan!  
            Ilmu akan membimbing manusia mengendalikan dan menguasai sebagian dari perilaku alam. Eksistensi ilmu menjadi karya konkrit bisa disaksikan dengan adanya teknologi, pesawat terbang, telekomunikasi elektronik, kapal laut, listrik, kendaraan, dan lain sebagainya. Semua itu ada karena peran serta ilmu. Para ilmuwan telah berhasil merangkai esensi teori, prinsip, hukum dalam esensi ilmu menjadi sebuah karya konkrit yang bisa dinikmati oleh manusia. Insan manusia di dunia telah mendapatkan dampak dan manfaat signifikan dengan keberadaan ilmu tersebut. Oleh karena itu, ilmu harus terus digali, dipelajari dan dikembangkan agar menjamin dan mengantarkan manusia kepada fungsi utamanya menjadi wakil-Nya di muka bumi untuk berbuat kasih sayang antar sesama manusia dan makhluk alam semesta lainnya.
           Ada pesan yang sangat serius dari Allah Tuan Yang Maha Esa melalui kitab sucinya, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan pikiran, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” Dia sebagai satu-satunya pemilik ilmu yang meliputi ilmu pada langit dan bumi ini sudah mewanti-wanti dan memberikan ingatan kepada manusia agar selalu belajar ilmu-Nya sehingga bisa memahami dan mengerjakan sesuatu dengan benar. Setiap diri harus benar-benar memfungsikan telinga, mata dan akal pikirannya untuk mencari, menggali dan menguasai pengetahuan tentang ilmu yang ada pada alam, sehingga dirinya bisa bertanggungjawab atas karunia paling sempurna dari makhluk ciptaan lainnya.
           Secara etimologi, kata ilmu dalam bahasa Arab "ilm" yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui segala sesuatu dengan sebenar-benarnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu bermakna pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis menurut metode yang ilmiah yang dapat digunakan untuk menjelaskan dan menerangkan kondisi tertentu dalam bidang pengetahuan. Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Ilmu bersifat mendeskripsikan, mengendalikan dan memprediksikan tentang suatu benda atau peristiwa.  
           Sesuatu dikatakan sebagai ilmu apabila menggenapi minimal empat syarat berikut ini. Pertama Objektif; ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun dari dalam, terlihat ataupun tersirat. Sasaran mengkaji objek adalah kebenaran yaitu persesuaian antara tahu dengan objek atau korespondensi teori dengan bukti, sehingga disebut kebenaran objektif bukan subjektif. Kedua, Metodis; ilmu harus mempunyai cara atau jalan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Ketiga, Sistematis; ilmu harus terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem utuh, menyeluruh, terpadu, dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Keempat, Universal; ilmu menghendaki kebenaran universal yang bersifat umum dan berlaku luas tidak terbatas ruang dan waktu.  
           Alam semesta ini penuh dengan ilmu. Secara garis besar, pengetahuan manusia membagi disiplin keilmuan dalam bidang ilmu alam, ilmu sosial dan ilmu terapan. Ilmu alam (natural science) adalah ilmu dengan obyeknya berupa benda-benda alam dengan hukum-hukum yang pasti dan umum, berlaku kapan pun dan di mana pun. Cabang utama ilmu alam terdiri atas astronomi, biologi, ekologi, fisika, geologi, geografi, ilmu bumi, kimia. Masing-masing cabang ilmu tersebut juga bercabang kembali ke dalam disiplin ilmu yang lebih spesifik dan mandiri, seperti ilmu biologi bercabang menjadi aerobiologi, astobiologi, mikrobiologi, biologi molekular, biologi sel, botani, ekologi, farmakologi, fisiologi, neurobiologi, zoologi dan lainnya.
        Ilmu sosial adalah (social science) adalah ilmu yang mempelajari aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan sosialnya. Cabang utama ilmu sosial terdiri dari antropologi, akuntansi, ekonomi, geografi, hukum, linguistik, pendidikan, politik, psikologi, sejarah, dan sosiologi. Masing-masing cabang utama keilmuan ini bercabang lagi kedalam spesifikasi yang lebih detail seperti ilmu psikologi terbagi kedalam neuropsikologi, psikofisika, psikometri, psikologi eksperimen, psikologi forensik, psikologi humanis, psikologi industri dan organisasi, psikologi kepribadian dan lainnya. Contoh lainnya adalah lingusitik yang terbelah menjadi mikrolinguistik dan makrolingusitik. Masing-masing cabang utama ilmu sosial tersebut memiliki cabang dan ranting yang lebih detail dan lebih spesifik.
            Selanjutnya, ilmu terapan adalah penerapan pengetahuan dari satu atau lebih bidang-bidang: matematika, fisika atau ilmu alam, ilmu kimia atau ilmu biologi untuk penyelesaian masalah praktis yang langsung memengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Cabang utama ilmu terapan meliputi arsitektur, bisnis dan industri, hukum, informatika, komunikasi, otomotif, pertanian, teknik, teknologi, transportasi, sosio-teknologi dan lainnya. Masing-masing cabang utama ilmu ini memiliki turunannya seperti ilmu informatika menjadi teknik telekomunikasi, teknologi informasi, teknologi komputasi, teknologi komunikasi, teknologi musik, teknologi visual dan lainnya.
            Itulah postur dan struktur dari ilmu yang ada di alam semesta. Ketegorisasi bidang keilmuan di atas barulah sebatas benda dan peristiwa yang diketahui oleh manusia (ilmu pengetahuan). Masih banyak ilmu yang tersimpan dan menjadi misteri serta membutuhkan eksplorasi agar diketahui di alam jagad raya ini. Ada juga sebuah ilmu dari Tuan Semesta Alam tentang proses penciptaan dan penjadian manusia paripurna sesuai dengan potret diri-Nya. Ilmu ini sering disebut dengan teori firman untuk mencetak kepemimpinan yang dikodefikasikan dalam kitab suci sebagai sumber kebenaran. Disiplin ilmu tersebut sudah selayaknya dimiliki oleh manusia dengan cara mempelajarinya. Satu saja disiplin ilmu ini dikuasai, maka manusia akan memiliki harga diri dan derajat yang tinggi. Apalagi jika ada satu orang mampu menguasai berbagai multi antar disiplin ilmu yang bervariatif ini.  
            Oleh karenanya, sudah semestinya setiap diri sadar dan berusaha untuk hidup mempunyai ilmu yang luas. Langkah seorang manusia untuk mendapatkan ilmu hanyalah dengan mencari ilmu. Siapa yang mengetuk pintu akan dibukakan, siapa yang mengejar akan memperoleh, dan siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapatkannya. Manusia sebagai makhluk paling sempurna dengan instrumen penglihatan, pendegaran, akal pikiran beserta panca indera lainnya harus dioptimalkan. Tiga alat utama inilah yang membuat manusia bisa mengamati, mencerna dan merekam berbagai ilmu pengetahuan pada alam.
Selanjutnya, sarana untuk bisa mempelajari ilmu adalah belajar dan belajar. Belajar itu memiliki dimensi yang sangat luas. Belajar bisa dimana saja dan kapan saja. Media pembelajaran adalah alam semesta yang tidak terbatas ini. Jangan terpasung pada doktrin belajar harus disekat oleh dinding dan seragam formal. Ingat, banyak ilmuwan dan tokoh-tokoh besar di dunia mendapatkan ilmu dari bangku informal dan nonformal. Mereka mampu menggali dan mendapatkan esensi ilmu setelah belajar bebas tetapi sistemik berkelanjutan melalui aktivitas membaca fenomena pada alam.  
Membaca, memang menjadi prosedur baku setiap manusia dalam belajar. Istilah membaca mempunyai dua dimensi fisik material maupun dimensi ruh esensial. Manusia mempunyai dua mata yaitu “mata fisik” dan “mata batin”. Mata fisik manusia untuk membaca sesuatu yang bersifat konkrit, melihat benda fisik, dan membaca dengan membunyikan huruf yang tersurat. Sementara itu, mata batin berfungsi untuk membaca sebuah gejala dan peristiwa yang kasat mata dan tersirat pada alam. Mata fisik untuk membaca eksistensi tulisan dan mata batin untuk mempelajari sesuatu yang esensi dibalik tulisan. Melalui dua aktivitas membaca inilah manusia dapat merangkum dan mendapatkan ilmu tentang eksistensi dan esensi hidup dan kehidupan pada alam semesta.      
Dengan belajar, sejatinya manusia sedang mentransformasikan dan mentransmisikan ilmu pada alam semesta ke dalam pikiran manusia, sehingga arsip keilmuan dalam pikiran manusia dapat digunakan kembali untuk memakmurkan alam. Einstein pernah mengatakan bahwa alam raya eksternal adalah alam semesta dan alam raya internal adalah pikiran manusia. Alam semesta memang tidak terbatas, sama halnya dengan potensi pikiran manusia yang sangat luas. Disinilah peluang bagi manusia untuk memindahkan atau mentransfer ilmu alam agar masuk ke dalam dirinya. Dengan demikian, manusia bisa berintegrasi dengan alam, bisa memahami, mengontrol dan memprediksi fenomena atau gejala alam. Mereka sering disebut sebagai ilmuwan yang selalu bersentuhan dengan alam, menduplikasi perilaku alam dan mengkodefikasikannya dalam bahasa pikiran, sehingga dia juga dikatakan orang yang berpengetahuan dan berpengalaman karena sering mengamalkan sesuatu pada alam.    
Itulah hakikat hubungan antar manusia dengan ilmu, dua sisi yang saling bersimbiosis mutualisme. Manusia tanpa ilmu ibarat orang buta, ilmu tanpa manusia ibarat cahaya lilin di bawah kolong meja. Manusia berilmu ibarat mercusuar yang menerangi dan menyejahterakan dunia. Eksistensi ilmu sebagai kebenaran akan memberikan dampak kebermanfaatan (utility), kegunaan (useful) dan kemudahan (workablility) bagi umat manusia. Dengan ilmu tersebut, seorang manusia bisa menjelaskan, mengedalikan dan memprediksikan sesuatu yang ada pada objek ilmu. Sebagai contoh, seorang yang mempunyai ilmu komputer akan mampu menjelaskan apa itu komputer, bisa menjalankan dan mengendalikan komputer, serta dapat memprediksikan apabila terjadi kerusakan beserta solusi perbaikan komputer.
Itulah kehebatan dan keunggulan orang berilmu. Manusia berilmu digambarkan seperti manusia yang bangkit dari alam kubur kegelapan membawa cahaya berjalan di tengah umat manusia. Ia akan menerangi dan menuntun manusia lainnya menuju satu tujuan fitrah penciptaannya, yaitu mengabdi kepada-Nya dengan memakmurkan alam semesta raya. Itulah kenapa setiap insan manusia dituntut belajar ilmu, karena Dia Sang Maha Raja Semesta ingin menjadikan manusia sebagai pengganti-Nya di muka bumi untuk mengelola dan memanajemen segala makhluk yang ada di darat, laut dan udara menurut ilmu Tuan Semesta Alam, Tuhan Yang Maha Esa. Selamat Belajar Menuntut Ilmu. 

Minggu, 30 Oktober 2016

Lari Pagi; Peduli Kesehatan dan Kebugaran





Kesehatan dan kebugaran adalah dua narasi utama yang sangat menentukan perjalanan hidup dan kehidupan seorang manusia. Pengertian kesehatan adalah kondisi fisik, mental dan sosial yang sempurna, bukan hanya ketidakhadiran penyakit semata. Sementara itu, kebugaran adalah kesanggupan dan kemampuan tubuh melakukan penyesuaian atau adaptasi terhadap pembebasan fiisk yang diberikan kepadanya tanpa menimbulkan kelelahan yang berlebihan. Dua suku kata yang saling terkait dan terikat dalam satu kesatuan ini berfungsi untuk menciptakan kualitas hidup insan manusia.
Dua definisi sehat dan bugar di atas bukanlah sebuah kata-kata teori yang akan otomatis tercipta pada seseorang yang membacanya, akan tetapi tubuh yang sehat dan kondisi yang bugar membutuhkan praktik pembiasaan agar benar-benar dirasakan secara konkrit dan nyata di dalam diri insan sejati. Setiap insan tidak akan memperoleh kondisi sehat dan bugar secara tiba-tiba atau tanpa adanya pemaksaan dan perjuangan melalui  aktivitas olah gerak tubuh atau sering disebut dengan olahraga.
Istilah olahraga pada dasarnya berasal dari dua kata yaitu kata “olah” yang artinya penempaan dan kata “raga” yang artinya anggota badan manusia, sehingga olahraga dapat diartikan sebagai aktivitas penempaan yang dilakukan pada bagian–bagian yang ada pada tubuh baik fisik jasmani maupun psikis rohani. Ilustrasi olahraga bisa disamakan dengan proses penempaan biji besi yang akan dijadikan sebuah perhiasan atau pedang, besi itu dipanaskan, didinginkan dan dipukul berulang-ulang yang mengakibatkan kerak dan karat menghilang tinggal menjadi bentuk pedang yang bermanfaat dan bernilai guna maksimal. Dengan kata lain, tidak mungkin tercipta kondisi sehat dan bugar tanpa tubuh ini diolah atau ditempa melalui media olahraga.  
Olah tubuh atau olahraga sangat beragam variasi dan jenisnya, baik secara personal maupun komunal, dari yang paling murah hingga olahraga berkelas, dan dari yang paling mudah gerakannya sampai paling kompleks olahan tubuhnya. Setiap manusia tentunya mempunyai bakat dan minat untuk menggeluti olahraga tertentu sehingga akan meningkatkan daya kemauan dan kemampuan untuk melaksanakannya, baik kemauan untuk mengeluarkan modal atapun aktivitas gerakannya. Walaupun demikian, tidak semua olahraga membutuhkan modal atau dana besar untuk melakukannya. Ada satu olahraga paling murah dan mudah serta memiliki kebermanfaatan yang banyak, suatu olahraga efektif dan efisien merakyat untuk rakyat, yaitu lari, lari dan lari.   
Lari adalah olahraga gratis walaupun tetap membutuhkan modal. Modalnya cukup bangun pagi dan sadar untuk mematikan nafsu kemalasan dalam diri. Modal kesadaran ini sangat penting karena akan memompa semangat untuk selalu ingat dan memacu pembiasaan diri untuk hidup sehat dan bugar. Jika kemalasan dan nafsu yang mendominasi sehingga menggugurkan bangun pagi dan tidak jadi olah tubuh lari pagi, maka yang tercipta adalah anti-thesis dari sehat dan bugar, yaitu sakit dan “loyo” mudah lelah atau ketahanan tubuh yang rendah.  
Olahraga lari merupakan pilihan gaya hidup sehat yang mempunyai berbagai manfaat di dalamnya, karena pada saat melakukan joging terjadi olahan dan gerakan hampir di seluruh bagian tubuh mulai dari ujung rambut sampai ujung mata kaki. Lari yang dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan akan mampu menciptakan kondisi tubuh yang sehat serta terhindar dari kehadiran beberapa penyakit. Lari juga merupakan latihan kardiovaskuler yang sempurna sehingga meningkatkan ketahanan dan kebugaran tubuh.
Manfaat lain lari dari sisi kesehatan adalah menurunkan berat badan karena pada saat lari terjadi pembakaran banyak lemak dan kalori. Lari juga berfungsi untuk mempercepat kerja otak karena sirkulasi darah menjadi lancar oleh gerakan tubuh. Kesehatan jantung dan paru-paru dapat terjamin karena terbiasa menghirup dan berdetak pada saat melangkahkan kaki. Resiko osteoporosis juga dapat dikendalikan karena pada saat lari akan memicu pembentukan sel-sel tulang baru sehingga tulang akan lebih awet dan kuat. Joging juga dapat mengurangi penuaan karena setiap aktivitas gerakan tubuh akan menghasilkan keringat dan mengeluarkan toksin racun melalui pori-pori sehingga berefek pada kulit lebih sehat dan terlihat lebih muda. Manfaat paling penting lainnya dari berlari adalah menyingkirkan stress dan depresi sehingga kualitas rohani menjadi lebih baik.
Selain kebermanfaatan dari segi kesehatan, olahraga lari atau joging juga menciptakan kebugaran dalam tubuh. Kebugaran tubuh berhubungan erat dengan kinerja sistem kardiovaskular yang berkaitan dengan aspek daya tahan (endurance). Aktvitas berlari yang konsisten akan menghasilkan daya tahan tubuh yang meningkat dan stamina tubuh yang terjaga. Lebih dari sekedar kebugaran, kebiasaan berlari juga bermanfaat untuk fungsi pertahanan diri karena mempunyai fisik yang prima. Ya, ada dua cara strategi untuk membela diri yaitu “melawan atau melarikan diri” (fight or flight) dari kejaran lawan. Dan ingat kedua cara itu sama-sama membutuhkan energi dan stamina fisik yang optimum untuk melakukannya.
Pada akhirnya, tidak ada yang tidak bermanfaat dari kebiasaan diri untuk berolahraga dengan berbagai bentuk olah gerakan tubuhnya, termasuk lari atau joging. Sudah menjadi hukum dan prinsip bahwa tidak mungkin tercipta kesehatan dan kebugaran tanpa aktivitas perjuangan untuk membentuknya, baik melalui olah pikir, olah jiwa, maupun olahraga. Selama insan manusia masih dianugerahi kesehatan, maka sudah selayaknya sadar untuk mensyukuri dengan menjaganya melalui olahraga. Karena, setiap personal bertanggungjawab atas dirinya, sehat dan sakit milik pribadinya, yang tidak akan pernah bisa dialih-tukarkan atau dijualbelikan dengan manusia lainnya.  Pedulilah pada kesehatan dan kebugaran selama masih diberikan kesempatan oleh-Nya. Salam Olahraga!

Sabtu, 29 Oktober 2016

Relevansi Impor Cangkul dengan Hari Pangan Sedunia




       Media sosial internet beberapa hari ini cukup viral memberitakan informasi terkait “impor cangkul” dari Cina ke tanah air Indonesia. Importasi sarana fundamen petani berupa lempengan besi sebanyak satu kontainer oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perusahaan Terbatas Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) ini cukup menyedot perhatian publik karena dipandang berbanding terbalik dengan semangat pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di negeri ini. Isu semakin berkembang dan menjalar ke beberapa objek kajian, lantaran peristiwa ini berpararel dengan adanya perayaan Hari Pangan Sedunia ke-36 pada tanggal 29 Oktober 2016 yang diselenggarakan di Boyolali, Jawa Tengah, Indonesia sebagai tuan rumahnya.
         Lantas apa hubungannya cangkul dengan pangan? Apa dampak psikososial importasi cangkul dengan eksistensi Indonesia sebagai negara agraris penyedia pangan nasional maupun dunia? Mungkin, secara kasat mata ini tidak ada hubungannya. Akan tetapi sebagai sebuah bahan renungan dan kontemplasi berfikir sistemik dan merespon fenomena masa depan pangan dunia, maka kiranya diperlukan analisis situasi dengan adanya peristiwa impor cangkul ke negeri yang seharusnya mengekspor cangkul beserta hasil buminya ini, karena karunia limpahan sumber daya alam di atas tanah dan air pelosok negeri.
         Alih-alih mengimpor cangkul untuk menambah volume kuantitas alat bantu sederhana para petani, justru kebijakan ini terkesan jungkir balik dengan jumlah petani yang kian hari kian merosot jumlahnya. Data Petani Indonesia menurut Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian terus menurun dari 39,22 juta pada 2013 menjadi 38,97 juta pada 2014, kemudian turun lagi menjadi 37,75 juta pada 2015. Kedua informasi ini menunjukkan antara suplay and demand kebutuhan petani dengan peralatannya untuk memproduksi pangan tidaklah berbanding lurus. Apalagi, dalam kondisi ingin percepatan produksi pangan seharusnya yang dilakukan adalah modernisasi dan mekanisasi pertanian alat yang canggih, bukanlah kembali kepada pengadaan alat konvensional cangkul, yang menguras energi secara fisik dan menambah cost centre yang tidak efisien dalam produksi pangan.   
         Selaras dengan ingatan adanya Hari Pangan Sedunia, masalah pangan ini memang menjadi tanggung jawab global termasuk Indonesia. Soekarno juga pernah mengatakan bahwa “Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka “malapetaka”; oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner”. Perayaan dan ingatan kata mutiara ini menjadi “warning atau alarm” terkait pengadaan impor cangkul ini yang sedikit banyak mencederai semangat bangsa Indonesia untuk berdaulat pangan. Walaupun pada masa sekarang ini masih sebatas angan-angan karena masih tingginya angka importasi dari komoditas pangan lainnya seperti beras, jagung, kedelai, sapi, kerbau dan bahan pokok lainnya dari negara lain.
          Negara memang mempunyai kewajiban untuk menjamin ketersediaan dan keamanan pangan bagi warga bangsanya, bahkan harus berupaya mewujudkan kedaulatan pangan sebagaimana amanah konstitusi. Undang-undang nomor 18 tahun 2016 mendefinisikan bahwa Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Semoga definisi ini bisa diimplementasikan dalam bentuk strategi, program dan aksi sistem operasi produksi pangan yang berpihak kepada ibu pertiwi.
       Negeri ini harus mampu berdikari di atas kaki sendiri. Importasi cangkul masih wajar, penyediaan bahan pokok dari luar negeri masih bisa dimaklumi, akan tetapi jangan sampai importasi alat dan pangan ini menjadi papan selancar bagi importasi tenaga kerja luar negeri untuk menginvasi seluruh sektor strategi negara ini.  Jika sumber daya material dan sumber daya manusia sudah dikuasai oleh orang asing di negeri sendiri, itulah makna dari ayam mati di lumbung padi. Semua peperangan dan kemenangan hanya terjadi apabila terjadi kedaulatan pangan, air dan energi yang terwujud dalam sebuah negeri. Jika ini tidak segera direalisasi, maka negeri ini akan menuju kepada khayalan tingkat tinggi dan terus terlelap dalam mimpi.
            Itulah relevansi impor cangkul dengan Hari Pangan Sedunia. Cangkul orang-orang Indonesia sejatinya berpotensi memberi makan orang sedunia. Nusatara sangat kaya akan sumber daya air, udara dan buminya sehingga harus diupayakan pengelolaannya. Perayaan Hari Pangan Sedunia ke-38 yang terselenggara di Indonesia ini bisa menjadi “tanda” akan terjadinya kebangkitan pangan di negeri ini, tentu saja dengan optimalisasi proses produksi pangan dengan mekanisasi dan modernisasi, dibalut dengan sentuhan gerakan cangkul karya anak negeri, tidak perlu impor dari luar negeri. Semoga segera tergenapi, doa anak negeri.

Jumat, 28 Oktober 2016

Menguji Eksistensi Sumpah Pemuda

 
Hari Jumat tanggal 28 Oktober 2016, seluruh bangsa Indonesia kembali merayakan Hari Sumpah Pemuda ke-88. Sebuah tonggak awal perjuangan kemerdekaan pernah terwujud dalam Kongres Pemuda pada tanggal 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta) yang menghasilkan keputusan Sumpah Pemuda berisi penegasan cita-cita akan ada "tanah air Indonesia", "bangsa Indonesia", dan "bahasa Indonesia". Suatu peristiwa sejarah yang penuh dengan sarat nilai dan fundamen bagi eksistensi perjalanan peradaban negeri ini.
            Sumpah Pemuda merupakan titik dari serangkaian garis panjang pergumulan sejarah bangsa Indonesia. Eksistensi sumpah setiap para pemuda gabungan dari berbagai pelosok tanah air kala itu mampu memandu dan mengomando pergerakan kemerdekaan sehingga melahirkan Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Keterujian dan daya cengkeram poin-poin sumpah pemuda ini telah berhasil menyingkirkan egosentris primodialisme sempit, sekuleritas suku, ras dan golongan untuk berkomitmen bersama hidup dalam satu kesatuan berbangsa dan bernegara kala itu.
            Namun demikian, seiring dengan perjalanan waktu dan umur Sumpah Pemuda yang sudah berumur lanjut ini,  muncul sebuah pertanyaan dan ujian reliabelitas (ketahanan) janji para pemuda ini dalam menghadapi tantangan dan rintangan kehidupan kedepan? Apakah unsur-unsur yang tercantum dalam sumpah ini mampu menjadi pengingat, pengikat dan penguat harmonisasi kehidupan pluralistik negeri ini? Untuk menjawabnya, kita ingat kembali naskah sumpah pemuda yang sudah disempurnakan ejaannya dan kemudian kita ukur dengan fenomena perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa kekinian. Adapun isi sumpah pemuda adalah sebagai berikut:
  1. Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia
  2. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia
  3. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia
 Unsur-unsur pokok yang menjadi variable pengikat dalam sumpah di atas meliputi kesadaran untuk bertanah air Indonesia, berbangsa Indonesia dan berbahasa Indonesia. Ketiga hal ini menjadi indikator utama untuk melihat daya dan power keterujian sumpah atau janji ini terhadap realitas untuk hidup bersatu atau koheren dalam keberagaman fragmentasi seluruh anak negeri. Jika perilaku yang ditampilkan oleh pemimpin atau masyarakat negeri ini jauh dari nilai-nilai kesatuan tersebut, bahkan menjurus anti-thesis dari ketiganya, seperti perpecahan antar golongan, perpecahan internal partai politik, intolerasi antar agama, perkelahian masa, dominasi mayoritas atas minoritas dan lain sebagainya, maka nilai-nilai sumpah ini patut kembali dipertanyakan kepada setiap pemuda dan tetua negeri ini. Ingat, bahwa sumpah ini bersifat hutang dan harus digenapi oleh sang pengikrarnya. Sumpah adalah pengingat, pengikat dan penguat antar elemen bangsa ini. 
Sumpah pemuda sebagai pengingat (reminder) mempunyai peranan penting dalam menjaga dan memandu perjalanan negara atas dasar isi sumpahnya perihal satu tanah air, bangsa, dan satu bahasa. Ingatan dalam arsip memori komunal anak-anak bangsa ini menjadi fungsi fital layaknya sistem memori dalam komputer yang sangat menetukan kecepatan akses penggunaan aplikasi program. Jika komunitas anak-anak bangsa ini banyak yang lupa akan nilai dan makna sumpah pemuda, maka kinerja putra-putri bangsa akan lambat atau “lemot” layaknya komputer pentium 1, dalam hal membangun keserasian dalam keberagaman. Pengingat adalah alarm atau media “dzikir” untuk menyelaraskan teori janji dalam sumpah dengan aplikasi perilaku dari nilai sumpah tersebut. Jika tidak sesuai dengan esensi sumpah, maka alarm ini akan berbunyi dan menandakan ada ketidakberesan dalam integrasi teori janji dengan implementasi.
Terkait dengan sumpah pemuda sebagai penginat, penulis kebetulan pada hari ini sedang berjalan-jalan di salah satu pusat perbelanjaan atau mall di sekitar daerah Ibu Kota Negara Indonesia. Alih-alih ingin mengetahui dan mensurvei ingatan beberapa anak bangsa, justru penulis dikagetkan dengan temuan yang cukup menggelikan atau mengerikan. Penulis mencoba mendekat dan iseng bertanya kepada 8 orang pengunjung secara random sampling terkait tahu tidaknya seseorang tersebut dengan peristiwa hari sumpah pemuda ini. Jawaban dari beberapa responden yang terdiri atas office boy, pelapak, pengunjung, dan seorang laki-laki volunteer UNICEF penggagas Gerakan Anti Kekerasan Terhadap Anak ini, tidak ada satupun dari mereka yang mampu menyebutkan isi 3 poin sumpah pemuda secara benar, bahkan kebanyakan menjawab “Tidah Tahu” dan “Lupa”.
Memang, deskripsi situasi ini tidak mewakili atau menggeneralisasi ketidaktahuan dan kelupaan dari seluruh warga negera ini akan sumpah pemuda. Akan tetapi, fenomena masyarakat tersebut menjadi indikator bahwa mereka telah “lupa” akan eksistensi sumpah pemuda yang telah melandasi berdirinya negara ini. Bisa dibayangkan kalau sebuah janji sudah tidak teringat dalam lintasan berfikirnya, maka apa yang dilakukannya tidak bersumber dari memori pikirannya. Semoga saja, hal ini tidak terjadi pada kaum strata petinggi atau pejabat publik negeri ini, walaupun mungkin boleh saja iseng-iseng diujicobakan kepada mereka untuk mengetahui tingkat akurasi ingatan pemegang kuasa republik ini. Ini hanyalah sebuah warning, jikalau segenap pemimpin dan masa terpimpin sudah “amnesia” akan sumpah dan cita-citanya, maka akan sulit mewujudkan visi misinya.
Selanjutnya, Sumpah Pemuda sebagai pengikat bisa diibaratkan seperti kain tenun yang sudah dipintal dengan rapi. Pintalan kain tenun adalah gabungan dari beberapa tali atau benang yang disatukan membentuk kesatuan kain yang indah dan menawan. Sebuah sumpah juga menjadi pengikat antara beberapa elemen perbedaan keberagaman anak-anak negeri untuk dipadukan dalam satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Jika ikatan ini rapuh dan terurai, maka kain tenun yang sudah dipintal seperti permadani ini akan tercerai berai kembali. Perpecahan ini akan mengakibatkan daya dukung manfaat menjadi lemah dan menimbulkan kerusakan yang fatal. Bisa dibayangkan jika untaian benang sumpah pemuda ini tercerabut, maka negeri ini akan terpecah belah dan hilang dimakan zaman.
Selain sebagai pengingat dan pengikat, sumpah pemuda juga berfungsi sebagai penguat. Nilai-nilai kesatuan tanah air, satu bangsa dan bahasa ini menjadi daya ledak kompresi yang menghasilkan energi untuk menggerakkan laju pertumbuhan dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sumpah atau janji merupakan sistem keyakinan (core belief) yang menjadi sumber kekuatan hidup dan kehidupan mengarungi derasnya perubahan zaman diera globalisasi ini. Ibarat sebuah bahan bakar fosil yang menjadi bahan utama berputarnya mesin dan roda kendaraan, jika esensi spiritual sumpah tersebut sudah menipis dan habis, maka laju kehidupan bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu akan berhenti dan hanya menjadi ilusi yang tak kunjung tergenapi. 
Itulah hakikat Sumpah Pemuda sebagai pengingat, pengikat dan penguat akan perjalanan kehidupan putra-putri Indonesia yang sudah berkomitmen mengikarkan dan menyatakan untuk hidup dalam satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Jikalau nilai-nilai spirit tahun 1928 ini sudah terlupakan, maka akan terjadi terurainya ikatan dan timbul perpecahan, sehingga mengakibatkan tidak adanya kekuatan, kemauan dan kemampuan untuk hidup bersatu, bahkan jika situasinya tidak dapat dikendalikan akan menciptakan terbelahnya angka satu, menjadi dua, tiga, empat, lima tanah air, enam bangsa, bahkan ratusan bahasa sendiri-sendiri, karena mereka tidak lagi yakin dan peduli dengan derajat keterujian sumpah pemuda dari para pendahulunya. Semua ini tergantung komitmen putra-putri seluruh elemen bangsa yang lahir dan tumbuh berkembang di tanah air dari Aceh hingga Papua.