Media
sosial internet beberapa hari ini cukup viral memberitakan informasi terkait “impor
cangkul” dari Cina ke tanah air Indonesia. Importasi sarana fundamen petani berupa
lempengan besi sebanyak satu kontainer oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Perusahaan Terbatas Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) ini cukup menyedot
perhatian publik karena dipandang berbanding terbalik dengan semangat
pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di negeri ini. Isu semakin
berkembang dan menjalar ke beberapa objek kajian, lantaran peristiwa ini berpararel
dengan adanya perayaan Hari Pangan Sedunia ke-36 pada tanggal 29 Oktober 2016 yang
diselenggarakan di Boyolali, Jawa Tengah, Indonesia sebagai tuan rumahnya.
Lantas
apa hubungannya cangkul dengan pangan? Apa dampak psikososial importasi cangkul
dengan eksistensi Indonesia sebagai negara agraris penyedia pangan nasional
maupun dunia? Mungkin, secara kasat mata ini tidak ada hubungannya. Akan tetapi
sebagai sebuah bahan renungan dan kontemplasi berfikir sistemik dan merespon
fenomena masa depan pangan dunia, maka kiranya diperlukan analisis situasi
dengan adanya peristiwa impor cangkul ke negeri yang seharusnya mengekspor
cangkul beserta hasil buminya ini, karena karunia limpahan sumber daya alam di
atas tanah dan air pelosok negeri.
Alih-alih
mengimpor cangkul untuk menambah volume kuantitas alat bantu sederhana para
petani, justru kebijakan ini terkesan jungkir balik dengan jumlah petani yang
kian hari kian merosot jumlahnya. Data Petani Indonesia menurut Badan Pusat Statistik
menyebutkan bahwa jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian terus
menurun dari 39,22 juta pada 2013 menjadi 38,97 juta pada 2014, kemudian turun
lagi menjadi 37,75 juta pada 2015. Kedua informasi ini menunjukkan antara suplay and demand kebutuhan petani dengan peralatannya untuk memproduksi
pangan tidaklah berbanding lurus. Apalagi, dalam kondisi ingin percepatan
produksi pangan seharusnya yang dilakukan adalah modernisasi dan mekanisasi
pertanian alat yang canggih, bukanlah kembali kepada pengadaan alat
konvensional cangkul, yang menguras energi secara fisik dan menambah cost centre yang tidak efisien dalam
produksi pangan.
Selaras
dengan ingatan adanya Hari Pangan Sedunia, masalah pangan ini memang menjadi
tanggung jawab global termasuk Indonesia. Soekarno juga pernah mengatakan bahwa
“Pangan
merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat
tidak dipenuhi maka “malapetaka”; oleh karena itu perlu usaha secara
besar-besaran, radikal, dan revolusioner”. Perayaan dan ingatan kata mutiara ini menjadi “warning
atau alarm” terkait pengadaan impor cangkul ini yang sedikit banyak mencederai
semangat bangsa Indonesia untuk berdaulat pangan. Walaupun pada masa sekarang
ini masih sebatas angan-angan karena masih tingginya angka importasi dari
komoditas pangan lainnya seperti beras, jagung, kedelai, sapi, kerbau dan bahan
pokok lainnya dari negara lain.
Negara
memang mempunyai kewajiban untuk menjamin ketersediaan dan keamanan pangan bagi
warga bangsanya, bahkan harus berupaya mewujudkan kedaulatan pangan sebagaimana
amanah konstitusi. Undang-undang nomor 18 tahun 2016 mendefinisikan bahwa Kedaulatan
Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan
Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi
masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber
daya lokal. Semoga definisi ini bisa diimplementasikan dalam bentuk strategi,
program dan aksi sistem operasi produksi pangan yang berpihak kepada ibu
pertiwi.
Negeri
ini harus mampu berdikari di atas kaki sendiri. Importasi cangkul masih wajar,
penyediaan bahan pokok dari luar negeri masih bisa dimaklumi, akan tetapi
jangan sampai importasi alat dan pangan ini menjadi papan selancar bagi
importasi tenaga kerja luar negeri untuk menginvasi seluruh sektor strategi
negara ini. Jika sumber daya material
dan sumber daya manusia sudah dikuasai oleh orang asing di negeri sendiri,
itulah makna dari ayam mati di lumbung padi. Semua peperangan dan kemenangan
hanya terjadi apabila terjadi kedaulatan pangan, air dan energi yang terwujud dalam
sebuah negeri. Jika ini tidak segera direalisasi, maka negeri ini akan menuju
kepada khayalan tingkat tinggi dan terus terlelap dalam mimpi.
Itulah
relevansi impor cangkul dengan Hari Pangan Sedunia. Cangkul orang-orang
Indonesia sejatinya berpotensi memberi makan orang sedunia. Nusatara sangat
kaya akan sumber daya air, udara dan buminya sehingga harus diupayakan
pengelolaannya. Perayaan Hari Pangan Sedunia ke-38 yang terselenggara di
Indonesia ini bisa menjadi “tanda” akan terjadinya kebangkitan pangan di negeri
ini, tentu saja dengan optimalisasi proses produksi pangan dengan mekanisasi
dan modernisasi, dibalut dengan sentuhan gerakan cangkul karya anak negeri,
tidak perlu impor dari luar negeri. Semoga segera tergenapi, doa anak negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar