Sabtu, 29 Oktober 2016

Relevansi Impor Cangkul dengan Hari Pangan Sedunia




       Media sosial internet beberapa hari ini cukup viral memberitakan informasi terkait “impor cangkul” dari Cina ke tanah air Indonesia. Importasi sarana fundamen petani berupa lempengan besi sebanyak satu kontainer oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perusahaan Terbatas Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) ini cukup menyedot perhatian publik karena dipandang berbanding terbalik dengan semangat pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di negeri ini. Isu semakin berkembang dan menjalar ke beberapa objek kajian, lantaran peristiwa ini berpararel dengan adanya perayaan Hari Pangan Sedunia ke-36 pada tanggal 29 Oktober 2016 yang diselenggarakan di Boyolali, Jawa Tengah, Indonesia sebagai tuan rumahnya.
         Lantas apa hubungannya cangkul dengan pangan? Apa dampak psikososial importasi cangkul dengan eksistensi Indonesia sebagai negara agraris penyedia pangan nasional maupun dunia? Mungkin, secara kasat mata ini tidak ada hubungannya. Akan tetapi sebagai sebuah bahan renungan dan kontemplasi berfikir sistemik dan merespon fenomena masa depan pangan dunia, maka kiranya diperlukan analisis situasi dengan adanya peristiwa impor cangkul ke negeri yang seharusnya mengekspor cangkul beserta hasil buminya ini, karena karunia limpahan sumber daya alam di atas tanah dan air pelosok negeri.
         Alih-alih mengimpor cangkul untuk menambah volume kuantitas alat bantu sederhana para petani, justru kebijakan ini terkesan jungkir balik dengan jumlah petani yang kian hari kian merosot jumlahnya. Data Petani Indonesia menurut Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian terus menurun dari 39,22 juta pada 2013 menjadi 38,97 juta pada 2014, kemudian turun lagi menjadi 37,75 juta pada 2015. Kedua informasi ini menunjukkan antara suplay and demand kebutuhan petani dengan peralatannya untuk memproduksi pangan tidaklah berbanding lurus. Apalagi, dalam kondisi ingin percepatan produksi pangan seharusnya yang dilakukan adalah modernisasi dan mekanisasi pertanian alat yang canggih, bukanlah kembali kepada pengadaan alat konvensional cangkul, yang menguras energi secara fisik dan menambah cost centre yang tidak efisien dalam produksi pangan.   
         Selaras dengan ingatan adanya Hari Pangan Sedunia, masalah pangan ini memang menjadi tanggung jawab global termasuk Indonesia. Soekarno juga pernah mengatakan bahwa “Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka “malapetaka”; oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner”. Perayaan dan ingatan kata mutiara ini menjadi “warning atau alarm” terkait pengadaan impor cangkul ini yang sedikit banyak mencederai semangat bangsa Indonesia untuk berdaulat pangan. Walaupun pada masa sekarang ini masih sebatas angan-angan karena masih tingginya angka importasi dari komoditas pangan lainnya seperti beras, jagung, kedelai, sapi, kerbau dan bahan pokok lainnya dari negara lain.
          Negara memang mempunyai kewajiban untuk menjamin ketersediaan dan keamanan pangan bagi warga bangsanya, bahkan harus berupaya mewujudkan kedaulatan pangan sebagaimana amanah konstitusi. Undang-undang nomor 18 tahun 2016 mendefinisikan bahwa Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Semoga definisi ini bisa diimplementasikan dalam bentuk strategi, program dan aksi sistem operasi produksi pangan yang berpihak kepada ibu pertiwi.
       Negeri ini harus mampu berdikari di atas kaki sendiri. Importasi cangkul masih wajar, penyediaan bahan pokok dari luar negeri masih bisa dimaklumi, akan tetapi jangan sampai importasi alat dan pangan ini menjadi papan selancar bagi importasi tenaga kerja luar negeri untuk menginvasi seluruh sektor strategi negara ini.  Jika sumber daya material dan sumber daya manusia sudah dikuasai oleh orang asing di negeri sendiri, itulah makna dari ayam mati di lumbung padi. Semua peperangan dan kemenangan hanya terjadi apabila terjadi kedaulatan pangan, air dan energi yang terwujud dalam sebuah negeri. Jika ini tidak segera direalisasi, maka negeri ini akan menuju kepada khayalan tingkat tinggi dan terus terlelap dalam mimpi.
            Itulah relevansi impor cangkul dengan Hari Pangan Sedunia. Cangkul orang-orang Indonesia sejatinya berpotensi memberi makan orang sedunia. Nusatara sangat kaya akan sumber daya air, udara dan buminya sehingga harus diupayakan pengelolaannya. Perayaan Hari Pangan Sedunia ke-38 yang terselenggara di Indonesia ini bisa menjadi “tanda” akan terjadinya kebangkitan pangan di negeri ini, tentu saja dengan optimalisasi proses produksi pangan dengan mekanisasi dan modernisasi, dibalut dengan sentuhan gerakan cangkul karya anak negeri, tidak perlu impor dari luar negeri. Semoga segera tergenapi, doa anak negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar